Bian sudah di pindahkan ke ruang rawat biasa, keadaannya memang stabil. Tapi, setelah pengambilan sample darah, Bian kembali tertidur akibat pengaruh obat yang disuntikan oleh dokter melalui cairan infusnya, dan mereka harus menunggu hasil laboraturium keluar setidaknya hingga dua hari kedepan.
Dion terduduk di samping ranjang Bian, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia lega karena ternyata Bian baik-baik saja, tapi disisi lain ia juga khawatir akan hasil tes Bian. Bian memang suka mengeluh sakit perut karena yang ia tahu karena Bian memang punya maag. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini bukan hanya sakit perut saja yang Bian rasakan. Anak itu menjadi mudah lelah dan juga sering mengeluh pusing.
Dion menatap langit-langit kamar rumah sakit, mencoba menghalau air mata yang hampir saja lolos. Berada di dalam ruangan ini kembali mengingatkannya kepada sang Mama yang juga berakhir di rumah sakit. Jujur saja, ia takut jika Bian akan bernasib sama seperti Mamanya.
Ia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jika hal seperti itu benar-benar terjadi. Bian, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Dion menggelengkan kepalanya ketika berbagai pikiran negatif itu muncul, ia yakin adiknya itu baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sakit itu wajar, semua orang bisa sakit.
Dion bangkit dan berjalan menuju sofa, merebahkan tubuhnya di sana. Ia sedikit lelah, matanya terasa memberat dan perlahan tertutup sempurna.
Tanpa disadari dengan perlahan mata indah Bian yang semula tertutup itu kembali terbuka. Ia melirik samping kanannya, di sana ada sang kakak yang tengah tertidur di sofa, sungguh posisinya sangat tidak nyaman. Bian menghela napas pelan, ia pasti sangat merepotkan. Bian benci rumah sakit, berbagai cara ia lakukan agar ia tidak akan sampai di tempat ini, namun ternyata ia kalah. Ia menatap punggung tangannya yang tertancap infus. Sungguh, ia ingin pulang.
"Bian, udah bangun?"
Dion mengucek matanya, suaranya serak khas orang bangun tidur, ia berjalan menghampiri sang adik. Menarik kursi dan duduk disamping ranjang Bian.
"Mas, Bian mau pulang." lirih Bian.
Dion menempelkan telapak tangannya dikening Bian. "Tunggu sampai lo baikan dulu, ya. Badan lo masih anget, masih demam."
Bian mendengus sebal, ia benar-benar tidak suka rumah sakit.
"BIAN!!!!!"
Baik Dion maupun Bian langsung menoleh kearah sumber suara, didapatinya ketiga sahabatnya sedang berdiri di depan ruang rawat Bian. Mereka bertiga masuk dan langsung menghampiri Bian yang masih bingung dengan kehadiran mereka.
"Kok kalian tau gue di rumah sakit," tanya Bian.
"Gue telfon lo berkali-kali gak diangkat, katanya lo mau main PS di rumah gue bareng upin-ipin ini."
"Sekalinya diangkat malah Mas Dion yang ngomong, katanya lo collapse terus dibawa ke sini."
Raka masih saja ngedumel, jujur ia sangat panik ketika kakak dari sahabatnya itu memberi tahu jika Bian masuk rumah sakit.
"Lo kenapa sih, Bi? Gue kira kemarin lo beneran masuk angin biasa. Eh taunya sampai drop gini." Jovian yang duduk disamping kiri Bian mulai bertanya, kepo juga dengan keadaan sang sahabat yang tiba-tiba drop.
"Kemarin?" Dion menatap Jovian dan juga Bian secara bergantian untuk meminta penjelasan. Bian langsung menatap Raka yang langsung merespon dengan gelengan kecil dikepalanya.
Ia memang tidak memberitahu Jovian dan juga Jemmy untuk tidak memberitahu kejadian kemarin kepada Dion.
"Iya, Mas. Kemarin Bian seharian di UKS, soalnya dari pagi dia gak enak badan, mana sempet muntah-muntah lagi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Teen Fiction°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...