Sore itu, harusnya ada banyak sekali hal yang ingin ia ceritakan kepada seseorang yang ia tunggu kedatangannya. Namun, sepertinya semesta ingin kembali bermain dengan hidupnya, ia sendiri pun bingung, sebenarnya dosa besar apa yang telah ia lakukan di masa lalu sehingga Tuhan sangat senang membolak-balikan nasib hidupnya.
Langkah kakinya terdengar begitu nyaring di tengah koridor yang sepi, ia berjalan— bukan, ia bahkan berlari sekuat tenaga, tak peduli bagaimana kacaunya penampilan ia sore itu, yang ia pikirkan hanya satu, Bian.
Bagaimana tidak, Dion yang memang sudah menanti Bian kembali ke rumah dan berencana mengajak adiknya itu untuk makan malam di luar, hitung-hitung sebagai traktiran karena ia sukses dengan sidangnya— seperti janjinya kepada Bian dua hari yang lalu, justru yang ia dapatkan adalah kabar jika sang adik kembali masuk ke dalam gedung yang di dominasi oleh warna putih itu. Sungguh, saat itu jantung Dion hampir saja berpindah tempat.
"Raka?!"
Dion membungkuk, memegangi kedua lututnya, napasnya masih terengah akibat berlari.
"Mas Dion!"
Raka bangkit dari duduknya, anak itu menghampiri Dion yang masih setia berdiri di hadapannya.
"Gimana Bian?" tanyanya.
"Masih ditangani dokter, Mas."
"Kenapa bisa sampai pingsan?"
"Gue juga gak tau gimana, Mas. Tadi pas di jalan kita semua tidur, Bian juga tidur, tapi pas mau sampai aparatemen gue bangunin dia gak bangun-bangun, makanya langsung kita bawa ke sini."
"Sebelumnya dia ngeluh sakit atau gak?"
"Dia cuma ngeluh pusing aja, Mas."
Dion menghela napasnya pelan, ia mendudukan dirinya di atas kursi. "Jemmy sama Jovian mana?"
"Mereka pulang duluan, Mas. Pak Yanto mau dipakai sama Papinya Jovian."
Dion hanya mengangguk, padahal ia ingin berterimakasih kepada Jovian karena telah mengantarkan Bian kesini.
"Makasih ya, Ka udah nungguin Bian, mending sekarang lo pulang aja gak apa-apa. Lo juga pasti capek, 'kan."
"Iya, Mas. Nanti gue minta jemput Ayah."
"Dari kemarin dia seneng banget, Mas. Di sana juga dia gak sakit, waktu baru dateng doang dia sempet muntah-muntah, tapi abis itu gak apa-apa."
"Kemarin Bian sedih pas lo sidang tapi di gak bisa nemenin lo di rumah."
Raka masih saja asik bercerita, walaupun Dion tidak menanyakan apa saja yang dilakukan adiknya selama berada di Puncak.
"Tapi kenapa pulang-pulang dia malah kaya gini, Mas?"
Dion tersenyum, menepuk pundak Raka pelan. Dion paham, pasti Raka masih shock melihat sahabatnya yang tiba-tiba pingsan seperti itu.
"Gak apa-apa, Ka. Palingan Bian cuma kecapean aja, lo tau sendiri gimana dia yang gak mau nunjukin kalau dia lagi sakit."
"Udah, lo gak usah khawatir berlebihan gitu. Bian pasti baik-baik aja," ujar Dion menenangkan Raka.
"Makasih ya, Ka udah selalu ada buat Bian, selalu nemenin Bian kalau gue lagi gak ada. Do'ain Bian biar dia tetep di sini sama kita, ya?"
Raka dapat melihat sorot kesedihan yang terpancar di mata Dion. Wajahnya pun tidak bisa berbohong bahwa kakak dari sahabatnya itu begitu sedih dengan kondisi Bian. Namun, ia terus berusaha agar terlihat kuat.
Getaran halus di ponselnya mengalihkan perhatian Raka, ternyata itu adalah notif dari sang Ayah yang sudah berada di depan untuk menjemputnya.
"Mas, sorry banget Ayah udah di depan. Gue pulang duluan gak apa-#pa, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Teen Fiction°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...