Hari ini langit terlihat mendung, seakan mengerti bahwa satu dari milyaran manusia di bumi itu telah berpulang, mengerti akan kesedihan mendalam yang di rasakan orang terdekat yang ditinggalkan. Sungguh, tidak ada yang baik-baik saja setelah kepergian sosok Bian. Ia telah menemukan kebahagiannya di sisi Tuhan.
Dion terdiam, menatap tubuh sang adik yang perlahan menyatu dengan tanah. Matanya sudah sangat sembab, penampilannya pun begitu kacau, biarlah orang berkata ia cengeng atau lemah sekalipun, karena sungguh ia tidak sanggup, kehilangan satu-satunya anggota keluarga apalagi sang adik adalah hal yang begitu menyakitkan.
Dion tidak pernah menyangka ia akan mengantarkan sang adik hingga sampai di liang lahat, sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Dadanya begitu sesak mengingat bagaimana wajah pucat Bian yang terpejam itu tak akan pernah terbuka kembali.
Satu persatu kerabat dekatnya yang datang ke pemakaman Bian mulai pergi, mereka mengucapkan belasungkawa yang begitu dalam kepada Dion. Sekarang hanya tersisa Ketiga sahabat Bian dan juga Jefri yang masih setia menemani Dion. Ia sedikit khawatir dengan kondisi Dion.
Dion menjatuhkan kedua lututnya di atas pusara Bian, mengusap nisan bertuliskan nama sang adik dengan tangan bergetar.
"Bian..." panggilnya lirih. Air matanya kembali meluruh, ia menunduk, bahunya bergetar berusaha menahan tangis.
"Kenapa lo tega ninggalin Mas sendirian, gue gak punya siapa-siapa lagi.."
Jefri merangkul sahabatnya, berusaha menenangkan.
"Jef, adek gue di dalem.. jahat banget dia ninggalin gue."
"Gue udah gak bisa peluk dia lagi, Jef. Gue gak bisa lihat dia lagi—
"Lo gak boleh gini, Dion. Bian udah tenang di sana, dia udah gak ngerasa sakit lagi."
"Gue kakak yang gak becus, gue gak bisa jagain Bian."
"Ini semua bukan salah lo, Dion."
"Dia meninggal di pelukan gue, Jef. Andai waktu itu gue gak dengerin omongan dia dan langsung bawa dia ke rumah sakit, pasti Bian masih di sini 'kan, Jef?!"
"Ini semua udah takdir Bian, jangan gini, please, biarin Bian pergi dengan tenang!"
Raka menunduk dalam, tangan kanannya masih berada di atas batu nisan Bian. Ia sama sekali tidak menyangka sahabatnya akan pergi secepat ini, ia bahkan tidak tahu bagaimana dia kedepannya tanpa Bian, bagi Raka, Bian bukan hanya sahabat, namun ia sudah menganggapnya seperti saudara kandungnya sendiri.
"Katanya mau kuliah bareng, kenapa malah pergi?"
Jemmy dan juga Jovian yang ada di samping Raka semakin terisak ketika mendengar ucapan Raka.
"Bian, maafin gue..." lirih Jovian. Ia teringat waktu dimana ia memaksa Bian untuk bertahan, padahal ia sendiri tidak tahu apa yang anak itu rasakan.
Jemmy mendekat, meletakan figura berisi foto Bian yang tak sengaja ia ambil sewaktu mereka menghabiskan waktu bersama. Jemmy meletakan foto tersebut tepat di depan nisan Bian, senyum Bian terlihat begitu manis di dalam foto itu.
"Istirahat dengan tenang ya, Bian. Sekarang lo udah sembuh, udah gak sakit lagi."
Dion yang masih terisak itu kembali meneteskan air mata ketika melihat ketulusan ketiga sahabat Bian. Ia bersykur selama ini adiknya di kelilingi orang-orang yang baik.
"Udah gede kok tidurnya masih sama Mama Papa, sih?" gumam Dion pelan.
Bian memang dimakamkan tepat di sebelah makam Mama dan juga Papanya. Seketika Dion beralih, menatap makam kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Teen Fiction°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...