Bian terbangun dari tidur lelapnya ketika perutnya terasa begitu nyeri, ia bergulung di balik selimut tebalnya, tangannya tak lepas dari perutnya yang ia cengkram dengan kuat, berharap rasa sakit itu bisa hilang.
Bian menggigit bibirnya kuat-kuat untuk mengalihkan rasa sakitnya, namun usahanya sia-sia. Seketika ia teringat akan obat yang dokter Yudha berikan kemarin, ada satu obat yang harus ia minum ketika sakit itu datang.
Ia beranjak menuju nakas yang terletak di samping tempat tidurnya, membuka lemari kecil itu dan mencari obatnya. Setelah ketemu, ia meminum satu pil kecil berwarna merah itu tanpa air. Bian terduduk di lantai yang dingin, rasa sakit itu masih terasa, mungkin obatnya belum bereaksi.
Bian menekan perut bagian kanannya lebih dalam lagi, rasanya begitu nyeri dan penuh fi bagian ulu hatinya, hingga ia merasa sedikit sesak disana. Perlahan, rasa sakit itu berangsur berkurang. Ia bersandar di samping tempat tidurnya, napasnya terengah dan keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya.
"Sakit banget.." lirih Bian entah kepada siapa.
"Gue kira sakitnya cuma sakit biasa, kalau kaya gini gak tau deh gue bisa bertahan atau gak."
Bian melirik jam yang terdapat di atas meja belajarnya, pukul empat pagi. Ia kembali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang sudah dibanjiri keringat dingin, masih ada waktu menuju pagi, sebelum ia bangun dan sekolah. Akhirnya Bian memutuskan untuk kembali tidur.
•••
Bian pikir dengan melanjutkan tidurnya sakit itu akan hilang, nyatanya tidak. Justru sekarang dirinya merasa sangat mual dan ingin sekali memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya. Ia bangun dan langsung berlari menuju kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya ke dalam wastafel. Tangannya bertumpu di sisi kanan dan kiri wastafel.
Setelah ia rasa tidak ada lagi yang keluar, ia membasuh mulutnya dengan air dan mematut dirinya di cermin yang ada di depannya. Wajahnya begitu pucat, belum lagi matanya juga terlihat begitu dalam, khas orang sakit sekali. Bian buru-buru mandi dan bersiap berangkat sekolah, sebelum sang kakak datang untuk membangunkan dirinya dan malah mendapati Bian seperti orang sekarat.
Bian keluar dari kamarnya dan mendapati sang kakak sedang menyiapkan sarapan untuknya. Ia langsung duduk di meja makan dalam diam. Dion yang heran melihat adiknya diam itu seketika menoleh, memperhatikan adiknya lamat-lamat.
"Bian, lo sakit?" tanya Dion khawatir. Pasalnya wajah Bian terlihat sangat pucat dan lesu.
"Dikit doang,"
Dion meraba jidat hingga leher Bian, tidak panas. Syukurlah, ia takut jika Bian akan terserang demam lagi seperti waktu itu.
"Makan dulu gih, nanti minum obat."
Dion menyodorkan sepiring nasi goreng buatannya dihadapan Bian yang masih diam. Bukannya Bian tidak mau, tapi seketika ia mual saat melihat makanan yang tersaji di depannya. Bian sontak menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
"Eh, kenapa?" tanya Dion.
"Perut gue mual, Mas." lirih Bian.
"Gak usah makan, ya?" sambungnya.
"Kalau gak makan gimana minum obatnya, makan dikit ya buat ganjel aja,"
Bian mendengus, akhirnya ia melahap sarapannya itu pelan-pelan dan hanya menghabiskan setengah dari porsinya.
•••
"Biaaannnn!!!"
Bian yang sedang berjalan menuju kelasnya itu seketika menoleh ke belakang ketika mendengar suara sesorang memanggilnya. Ternyata itu Jemmy yang sedang berlari kecil menyusulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Novela Juvenil°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...