Dion menggeliat pelan, tidur lelapnya sedikit terusik ketika mendengar suara lenguhan dan juga gerakan tak beraturan Bian yang masih terpejam di atas ranjangnya. Dengan gerakan cepat ia meloncat, menghampiri Bian yang masih bergerak gelisah.
"Bian, sadar dek!"
Matanya melirik jam yang bertengger di atas nakas, pukul empat lewat sepuluh menit. Ia mengusap kening sang adik yang sudah dibanjiri oleh keringat dingin.
"M-mama.." gumam Bian pelan, mata indahnya masih setia terpejam.
Hati Dion sedikit mencelos mendengar gumaman Bian, pasti adiknya itu sedang memimpikan Mamanya, ia tahu Bian begitu merindukan sang Mama.
"Bian bangun, ini Mas," ucapnya tepat ditelinga sang adik.
Kedua manik hitamnya itu perlahan terbuka, "Mas.."
"Iya ini Mas di sini, lo mimpi buruk?"
Dion menggenggam erat tangan Bian yang terbebas dari infus, ia bisa merasakan hawa panas yang menjalar di telapak tangannya.
"Badan lo kenapa jadi panas banget, mana yang sakit, hm?"
"Dingin, Mas.." lirih Bian, dengan gerakan lemah, Bian menarik selimutnya sebatas dada, berusaha menghangatkan tubuhnya sendiri yang entah kenapa tiba-tiba terasa sakit semua.
"Mas, gue takut.. Mama.. ada Mama.." racau Bian.
Tanpa pikir panjang, Dion menaiki ranjang Bian. Menyibak selimut sang adik dan kembali memakainya bersamaan dengan dirinya, untung saja ranjang itu masih cukup untuk berdua.
"Sstt.. itu cuma mimpi, jangan takut ya. Ada Mas di sini."
Dion menenggelamkan kepala Bian di depan dada bidangnya, Bian semakin merapatkan pelukannya karena ia benar-benar merasa menggigil sekarang.
"Ada Mama, cantik banget, Mas.. tapi gue takut.."
Dion berusaha acuh terhadap setiap ucapan yang Bian lontarkan, ia berpikir mungkin karena suhu tubuh Bian yang tinggi membuat anak itu meracau tidak jelas, tapi entahlah jika semua itu memang benar, apakah Mamanya itu datang menemui Bian atau itu hanya sekedar bunga tidur saja.
"Sstt.. tenang ya. Tidur lagi aja, ini masih subuh. Mas temenin di sini,"
Bian kembali memejamkan matanya, rasanya sedikit lebih tenang berada dipelukan Dion, jujur ia begitu takut dengan apa yang ia alami barusan.
Dion menghela napas lega ketika melihat Bian yang sudah kembali tertidur, hati siapa yang tidak sakit melihat sang adik seperti ini.
"Mama jangan ajak Bian pergi, Ma." gumam Dion pelan. Ia mengusap punggung rapuh Bian dengan pelan. Jujur ia takut, setiap harinya bukannya membaik, keadaan Bian justru terus menurun. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana, mungkin cara satu-satunya memang ia harus mendonorkan hatinya untuk Bian.
•••
"Gue bilang gak ya tetep gak, Mas!"
"Bian denger! Gak ada cara lain, lagian donor hati gak bikin gue mati, Bian. Gue masih sehat!"
"Gue mau asal bukan dari lo, Mas. Udah cukup selama ini lo berkorban buat gue." Bian sedikit meninggikan nada bicaranya.
Dion mengusap wajahnya frustasi, ia baru saja berusaha berbicara dengan Bian mengenai rencananya untuk mendonorkan sebagian hatinya untuk Bian, namun sesuai dugaan Dion sebelumnya, anak itu langsung menolak permintaan sang kakak.
"Gue itu cuma beban buat hidup lo, Mas.." lirih Bian.
"Gak ada yang pernah bilang kaya gitu, Bian. Lo itu tanggung jawab Mas, bukan beban!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Ficção Adolescente°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...