Hari ini sepertinya hujan akan turun, terbukti dengan tidak adanya matahari yang naik ke permukaan, padahal jam sudah menunjukan pukul delapan pagi. Beruntung hari ini adalah hari weekend, jadi beberapa orang masih terlihat bergulung di bawah selimut tebalnya akibat cuaca yang sedikit lebih dingin dari biasanya.
Berbeda dengan Bian, terhitung sudah setengah jam yang lalu anak itu berdiam diri di kamar mandi, saat ini ia sedang terdiam sembari menatap pantulan wajahnya yang bisa dibilang pucat, bahkan sangat pucat. Jangan lupakan kantong matanya yang juga sangat terlihat jelas. Namun, bukan itu poin pentingnya, Bian masih terlihat shock dengan apa yang baru saja terjadi dengan tubuhnya. Ia kembali melirik permukaan wastafel yang masih terdapat bercak merah, darah.
Bukan darah dari hidungnya, namun darah itu berasal dari mulutnya, ia muntah darah. Walaupun dalam beberapa bulan belakangan ini ia sudah sering mengalaminya, namun rasa terkejut itu masih ada. Tadi pagi sekali Bian terbangun dari tidurnya ketika merasakan sakit diarea ulu hatinya, sakitnya benar-benar menyiksa hingga dadanya ikut sakit. Rasa nyeri yang mendera perutnya begitu terasa hingga akhirnya ia merasa ada gejolak yang tidak nyaman dari perutnya. Dengan cepat, ia beranjak menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi lambungnya, sampi pada yang terakhir tiba-tiba yang keluar bukan lagi makanan, namun darah.
Ia akui beberapa bulan ini ia sangat sibuk belajar hingga terkadang ia lupa waktu. Ia sering terlambat atau bahkan lupa untuk meminum obatnya. Makan juga jika dia ingat. Beberapa bulan yang lalu setelah ia mengetahui bahwa sang kakak bekerja, Bian berpikir apa yang bisa membantu Dion, namun ia tidak menemukan jawabannya. Ia ingin bekerja part time seperti Dion, tapi tentu saja tidak diperbolehkan mengingat kondisi Bian yang seperti itu.
Akhirnya, Bian hanya fokus belajar dari siang hingga malam agar bisa meraih nilai yang bagus saat ujian nanti. Cuma itu yang bisa membuat kakaknya bangga.
Bian menyalakan kran air, membiarkan darah itu larut terbawa arus. Ia membasuh mulut dan juga wajahnya, berharap sang kakak tidak curiga melihat wajah pucatnya. Ya, selama ini Bian menyimpannya sendiri, tidak memberitahu kondisinya yang mungkin saja semakin parah.
Bian kembali berjalan menuju tempat tidurnya, mendudukan dirinya ditepi ranjang, tangannya tak lepas dari perutnya yang masih saja berontak, rasanya nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat didalam sana.
"Akh..shh.."
Bian merintih, menekan dengan kuat di area sumber sakit itu. Bahkan, kini badannya sudah menunduk, tangan satunya mengepal dengan kuat guna menyalurkan rasa sakitnya.
"Sakit banget.. kapan sih lo berhenti nyiksa gue," lirih Bian di tengah rintihannya.
Rasanya Bian sudah tidak punya tenaga lagi. Bagaimana tidak, seluruh isi perutnya sudah ia keluarkan tadi, tenaganya pun sudah habis ia gunakan untuk meredam rasa sakitnya.
Bian menegakan tubuhnya kembali dan merebahkan tubuhnya, ia terdiam sejenak untuk menikmati rasa sakit yang kian menyiksa. Bian sudah pasrah jika sang kakak tiba-tiba masuk dan mendapati keadaannya seperti ini.
"Shh..." Bian mendesis di balik matanya yang terpejam, perlahan mata indah itu terpejam, entahlah ia kembali tertidur atau mungkin.. pingsan? Entahlah, yang penting ia tidak merasakan sakit lagi.
•••
"Dih, kebo banget lo jam segini masih tidur. Bangun Bian, kalah lo sama ayam!"
Dion masuk ke dalam kamar sang adik yang masih terlihat gelap itu, mendapati Bian masih meringkuk dibawah selimut tebalnya. Tadi malam Bian mengatakan pada Dion kalau hari ini teman-temannya akan datang ke apartemen mereka untuk belajar bersama, tumben sekali bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Dla nastolatków°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...