33. Harus gimana lagi?

2.3K 315 29
                                    

"Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan umatnya."

Mungkin kalimat itu sering terdengar dan sebagian orang percaya jika Tuhan memberi umatnya suatu cobaan, itu berarti karena Tuhan sayang.

Tapi, entah hari ini Dion harus percaya dengan kalimat itu atau tidak. Bagaimana tidak, lagi dan lagi Tuhan memberinya cobaan lewat sang adik, terkadang Dion merasa lelah dengan semua yang ada di dalam hidupnya.

'ini semua terlalu berat untukku, Tuhan.'

Dion menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya, bahunya bergetar menahan tangis. Sungguh, Dion sudah tidak sanggup menghadapi semua ini sendirian, ia tidak tahu lagi harus bersandar kepada siapa.

"Beberapa bulan yang lalu, Bian datang check up sendirian, dan hasilnya cukup buruk. Ternyata Bian sering sekali melewatkan jadwal minum obatnya, tekanan darah dia sempat turun, sepertinya Bian kurang istirahat."

"Selain itu, dia juga bilang kepada saya bahwa dia sudah sempat muntah darah. Setelah saya periksa lebih lanjut, hasilnya memang cukup buruk. Bian butuh donor hati, karena hatinya mulai kehilangan fungsinya."

"Faktor yang mempengaruhi kesembuhan sesorang itu bukan hanya berasal dari fisiknya saja, tapi dari psikis juga. Jangan biarkan Bian terlalu stress, karena yang saya lihat, sepertinya Bian sedang banyak pikiran."

Dion mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata ketika kembali teringat ucapan Dokter Yudha. Ia menatap wajah Bian yang masih setia terpejam. Dion meraih tangan adiknya yang terbebas dari infus, mengelusnya pelan.

"Bian, Mas udah bilang berkali-kali, 'kan sama lo, jangan pernah sembunyiin apapun dari gue. Kenapa sih lo tuh batu banget!"

"Kenapa hal berat kaya gini lo tanggung sendiri? Emang gue gak berguna banget ya, sampai lo gak percaya sama gue. Lo gak percaya kalau gue bisa bantu lo, gue gak becus banget jadi kakak, ya?"

"Mama, Papa, maafin Mas ya gak bisa jagain adek. Mas gak berguna banget,"

Dion menghela napas lebih dalam, dadanya terasa sesak ketika kembali melihat Bian terbaring di ranjang pesakitan ini. Entah Bian yang terlalu pandai berakting atau Dion yang tidak peka dengan kondisi sang adik. Bian yang Dion lihat akhir-akhir ini adalah Bian yang ceria, Bian yang semangat belajar untuk meraih cita-citanya yaitu masuk Universitas yang sama dengan dirinya.

"Mas, gue mau kuliah di kampus lo. Duh, susah gak sih buat masuk situ?"

Siapa yang tidak senang mendengar ucapan Bian, setelah sebelumnya Bian sempat putus asa jika ia bisa melanjutkan kuliahnya, Bian sempat pesimis bahwa dia bisa bertahan hingga jenjang perkuliahan.

Dion mengeratkan genggaman tangannya, tangan satunya ia gunakan untuk mengelus surai hitam Bian. "Bian, apapun bakal Mas lakuin buat kesembuhan lo. Lo butuh hati, 'kan? Gue bakal kasih kalo itu bisa bikin lo balik jadi Bian yang dulu, adeknya Mas yang ngeselin. Bukan yang lemah kaya gini. Mas gak bisa hidup tanpa lo, dek!"

Dion mengecup punggung tangan Bian pelan. Entahlah, hari ini terasa sangat berat untuknya. Tanpa Dion sadari, mata yang sedari terpejam itu meneteskan air mata.

'Apapun itu bakal gue terima, Mas. Asal bukan hati lo, jangan pernah sekalipun lo kasih itu ke gue! Sekalipun gue emang butuh itu. Gue gak mau.'

•••

Dion mengerjapkan matanya, ia merasa tidurnya terusik akibat pergerakan dari tangan yang ia jadikan tumpuan selama ia tidur.

"Kepala lo berat, Mas. Tangan gue semutan."

Lil Brother | Haechan Doyoung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang