22. Untung ada Raka

2.3K 321 13
                                    

Mereka berdua masih asik dengan dunia mereka masing-masing sembari menikmati angin segar sore hari. Bian diam mengamati beberapa anak yang berlalu-lalang di taman rumah sakit sore itu, matanya terfokuskan kepada salah satu anak yang sedang bermain bola, hanya sebatas melempar dan menangkap bola tersebut bersama seorang wanita yang sepertinya itu adalah Ibunya, sedangkan ia hanya duduk di atas kursi roda.

Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya anak itu sama dengan dirinya, sakit. Tapi melihat semangat anak tersebut membuat Bian sedikit malu kepada diri sendiri, kenapa ia yang dewasa masih saja sering terputuk dengan keadaan dirinya yang sekarang. Berkali-kali ia mencoba untuk menjadi kuat, namun berkali-kali pula ia selalu kalah dengan sakitnya.

Dug!

Lamunanya buyar ketika bola yang tadi dimainkan oleh anak tersebut berhasil mendarat tepat di depan kakinya, ia menunduk, mengambil bola tersebut. Ia tersenyum ketika melihat anak itu berjalan kearahnya, bersama sang Ibu yang mendorong kursi rodanya. Raka hanya diam di sebelahnya.

"Maaf ya, Kak. Rafa gak sengaja lempar bolanya sampai sini," ujar anak kecil tersebut yang ternyata bernama Rafa.

"Gak apa-apa, lagian bolanya gak kena Kakak sama sekali, kok."

Biam mengulas senyum kepada Rafa sembari mengulurkan bola tersebut.

"Makasih, Kak!" ucap anak itu girang, bibirnya yang pucat masih terus tersenyum.

"Mari, Nak!" ucap Ibu Rafa tersenyum.

Raka dan Bian membalas senyuman wanita tersebut seraya sedikit membungkukan badannya sopan.

Bian menghela napas, "gue kalah sama anak kecil," gumam Bian.

"Maksudnya?" tanya Raka yang mendengar gumaman Bian.

"Hah, gak."

Bian kembali duduk, ketika kepalanya mulai terasa sedikit berputar. Ia menunduk sembari memijit kepalanya pelan.

"Ka?" panggil Bian pelan.

Raka menoleh, mengamati Bian yang masih menunduk. "Lo kenapa?"

"Anterin gue ke kamar, gue pusing." lirihnya.

"Duh, pusing banget, gak? Kalau gak kuat gue ambilin kursi roda aja, ya?" tanya Raka panik.

"Gak kok, gue masih kuat jalan."

Bian berusaha berdiri di bantu Raka.

"Shh.." Bian sedikit menunduk, mencengkram perutnya.

"Bian, serius kuat gak, gue panggilin suster aja kali, ya?"

"Gak usah, Ka. Beneran gue gak apa-apa, lo bantu gue jalan aja."

Raka membantu memapah Bian. Sekarang, bukan lagi kepalanya yang terasa berat, namun nyeri di perutnya itu datang kembali. Beruntung perjalanan menuju kamar tidak terlalu jauh, hanya tinggal naik menggunakan lift dan berjalan beberapa meter saja untuk sampai di kamar Bian.

Raka merebahkan tubuh Bian di atas ranjang yang beberapa hari ini ia tempati. Ia langsung menyelimuti Bian sebatas dada, dan mengelap keringat dingin yang bercucuran di wajah sahabatnya menggunakan tissue.

"Masih pusing, gak? Gue panggilin dokter Yudha, ya?"

"Gak usah, Ka. Gue mau tidur aja deh bentar. Lo masih di sini, 'kan?"

Raka mengangguk, "ya udah lo tidur aja, gue masih nunggu Mas Dion dateng."

"Sorry, ya." ucap Bian lirih.

"Santai aja, kaya sama siapa aja lo,"

•••

Tepat pukul tujuh malam, Dion baru datang kembali ke rumah sakit. Ada suatu hal yang harus ia selesaikan sehingga ia datang terlambat, padahal niat awalnya ia hanya akan mengambil beberapa barang saja.

Lil Brother | Haechan Doyoung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang