50. Maafin Bian ya, Mas?

2.9K 324 30
                                    

Dion pikir, malam ini ia akan tidur dengan lelap setelah menghabiskan hari yang panjang dan penuh bersama dengan Bian. Namun nyatanya tidak. Sejak pukul dua malam, Bian demam tinggi, tubuhnya menggigil, padahal anak itu sudah memakai jaket dan juga selimut yang tebal, entah sudah berapa kali Dion bolak-balik untuk mengompres Bian, namun tetap saja demamnya tak kunjung turun. Sampai akhirnya ia ikut tertidur memeluk Bian dengan erat agar anak itu tidak lagi kedinginan.

Rasa khawatir Dion tak berhenti disitu, ketika pagi datang, justru kondisi Bian semakin mengkhawatirkan, Bian sudah berkali-kali muntah dan juga tadi sempat mimisan. Dion sudah berkali-kali membujuk adiknya itu agar mau kembali ke rumah sakit, namun tetap saja di tolak mentah-mentah oleh Bian. Dion bingung, disaat seperti ini pun Bian masih tetap setia dengan sifat keras kepalanya.

"Mas, lo udah hubungin temen-temen gue belum?" tanya Bian lirih, bahkan sangat lirih sehingga Dion harus mendekatkan telinganya di depan wajah Bian agar mendengar suara anak itu. Bian mengerjap pelan, tubuhnya terasa begitu lemas sekarang, ia juga merasa sekujur tubuhnya terasa sakit.

"Udah, tapi hari ini mereka ke sekolah dulu sebentar, ada perlu katanya. Nanti abis dari sekolah mereka ke sini."

Bian kembali memejamkan matanya, sesekali mengernyit kala merasa sakit yang teramat menyerang ulu hatinya.

"Lo sarapan dulu, ya? Mas bikinin bubur mau?" tanya Dion pelan, matanya memanas melihat kondisi Bian seperti ini, ia hampir saja menangis.

Bian menggeleng pelan, "Perut gue sakit kalau makan, Mas."

"Iya tapi kalau gak makan juga nanti makin sakit,"

"Nanti aja, gue pengin tidur bentar boleh, gak? Lo sarapan aja dulu, Mas."

"Gue mah gampang, nanti aja. Ya udah lo tidur dulu, gue bikinin bubur aja dulu ya buat lo nanti."

Bian hanya mengangguk dan kembali memejamkan matanya, Dion masih setia menemani Bian hingga anak itu benar-benar tertidur. Ia sudah menghubungi dokter Yudha perihal kambuhnya Bian, namun sayangnya dokter Yudha sedang ada pasien yang harus ditangani, sehingga beliau belum bisa datang kemari.

"Semua yang ada sama lo tuh emang mirip Mama, tapi gak dengan sifat keras kepala lo ini." gumam Dion pelan.

Dion mengusap puncak kepala Bian pelan, sampai akhirnya ia beranjak keluar ketika Bian sudah tertidur dengan pulas. Ia beranjak menuju dapur dan membuat makan untuk Bian dan juga dirinya.

•••

"Supir lo udah jemput, Jov?"

"Lagi di jalan."

Ketiga lelaki itu terduduk di halte depan sekolah mereka, hari ini ada sedikit seminar dari salah satu kampus yang ada di Jakarta, mengharuskan mereka berangkat ke sekolah di tengah-tengah hari bebas mereka.

Setelah mendapat pesan dari Bian— lebih tepatnya dari Dion di grup mereka, mengabarkan bahwa Bian meminta mereka untuk datang hari ini, maka dari itu hari ini mereka sengaja tidak membawa motor masing-masing agar bisa pergi bersama ke rumah Bian.

"Nah itu Pa Yanto, yuk buruan!"

Mereka bertiga masuk ke dalam mobil Jovian yang di bawa oleh supirnya, Pak Yanto.

"Maaf lama ya, Mas. Jalanannya macet, aduh ini arah ke rumah Mas Bian juga agak padat." tutur Pak Yanto dengan logat jawanya yang khas.

"Gak apa-apa, Pak. Kita juga gak buru-buru banget, kok." jawab Raka ramah.

Memang benar, jalanan siang ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Mereka bertiga terdiam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Merasa hening, Jovian yang duduk di depan itu memutuskan untuk menyalakan radio yang ada di depannya, mungkin mendengarkan musik sedikit membantu menghilangkan bosan selama macet.

Lil Brother | Haechan Doyoung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang