Dion pikir dengan tidur cepat akan membuat tubuhnya menjadi lebih baik, tapi ternyata ia salah. Pagi ini ia terbangun ketikamerasakan kepalanya yang semakin sakit, bahkan untuk bangun dari tempat tidur saja rasanya seluruh rumah ini berputar. Mau tidak mau membuat ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Matanya terpejam walaupun ia tidak tertidur, netranya hanya tidak kuat melihat silaunya lampu kamar yang menyala. Dion menghela napas, berusaha menguatkan dirinya untuk bangun dari tempat tidurnya.
Dengan sedikit paksaan akhirnya Dion bangkit, berjalan keluar kamar walaupun tubuhnya sempat terhuyung. Ia berjalan menuju kamar Bian, sepertinya Bian belum bangun. Ia membuka pintu kamar Bian, dan ternyata kosong. Bian sudah bangun tapi anak itu tidak ada di kamar, biasanya jika Bian bangun terlebih dahulu pasti ia akan membangunkan Dion dan merengek meminta sarapan.
Dion berjalan menuju dapur, matanya sedikit terbelalak melihat Bian yang sudah rapi memakai seragamnya dan terlihat sedang membuat sarapan, entah apa yang dia buat, tapi sepertinya anak itu sangat serius.
"Bian." panggil Dion, ia berjalan menghampiri Bian yang masih sibuk dengan kegiatannya.
"Udah bangun, Mas?" tanya Bian balik.
"Lo bikin apa? Tumben gak bangunin gue,"
"Kata siapa, gue tadi ke kamar lo, tapi lo tidurnya pules banget sampe gue bangunin aja lo gak gerak sama sekali."
Dion hanya menganggukan kepalanya dan kembali berjalan melihat hasil sarapan buatan Bian. "Bian, ini lo bikin apaan?"
Dion mengangkat selembar roti yang terlihat gosong, bukan hanya sebagian tapi hampir seluruh bagian roti itu gosong.
Bian hanya nyengir, "itu gagal, Mas. Gak usah dimakan."
"Ini lo bikinnya pakai apaan sih?"
"Gue panggang di wajan tuh, gue tinggal ke kamar bentar malah gosong."
"Ya iya lah gosong, lagian kenapa gak pake toaster aja sih!"
"Itu alat mati, Mas. Kelamaan jadi gue pakai wajan aja."
"Mati gimana, orang kemaren gue pake aja masih bisa."
Dion berjalan menuju meja panjang yang ada di pojok dapur, memeriksa alat pemanggang yang Bian bilang rusak itu.
"Bian, lo kalau punya otak jangan cuma dijadiin pajangan aja, bisa?" Dion berkata dengan sangat lembut, terlalu gemas dengan kepolosan sang adik.
"HAH?" Bian menghentikan kegiatannya mengunyah roti yang ia bikin.
"Ini kabelnya gak lo colokin!"
Dion menyodorkan kabel itu di depan mata Bian dengan gemas sekaligus emosi.
"Udah kok tadi, emang gak nyala, Mas!" ujar Bian ngeyel.
"Lo salah kabel, ini yang lo colok kabel microwave, adikku sayang."
Kepala Dion yang memang sejak tadi pusing kini bertambah sakit akibat kelakuan Bian.
"Ih geli."
"Ya udah lah, Mas yang penting gue udah bikin nih. Lo kalau mau bikin sendiri, ya. Hari ini lo gak usah nganterin gue, ada Raka dibawah."
"Bian—
"Oh iya, lo kalau gak kuat gak usah kuliah. Gue tau lo lagi sakit, Mas. Gak usah sok kuat, istirahat aja di rumah. Jangan lupa minum obatnya juga kalau masih pusing."
"Gue berangkat, ya. Bye!"
Dion masih terdiam, "Bian tadi malam salah makan atau gimana, sih? Tumben amat itu anak cerewet banget." gumam Dion pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Novela Juvenil°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...