Langit sudah sepenuhnya dikuasai oleh gelapnya malam, namun malam ini tidak ada satupun bintang yang terlihat di atas sana. Mungkin malam ini akan turun hujan.
Sama halnya dengan di dalam ruangan berwarna serba putih ini, tidak ada atmosfer hangat yang tercipta di sana. Sepasang kakak beradik itu masih saja bungkam satu sama lain. Semenjak kedatangan sang kakak sekitar satu jam yang lalu, ia tak melontarkan sepatah katapun kepada sang adik, begitu juga sebaliknya. Adiknya itu lebih memilih menonton televisi yang ada di hadapannya, sedangkan sang kakak fokus dengan ponsel dan juga laptopnya. Sesekali mereka melirik satu sama lain, namun tak ada kata yang keluar dari mulut masing-masing.
Bian terlihat gelisah di atas ranjangnya, ia melirik Dion yang masih saja berkutat dengan laptopnya. Merasa tak nyaman, akhirnya ia mematikan televisi tersebut dan kembali membaringkan tubuhnya. Ia menaikan selimut hingga sebatas dada dan memiringkan tubuhnya, membelakangi kakaknya itu.
Dion menatap Bian sejenak ketika terdengar helaan napas yang cukup keras dari adiknya itu. Namun, melihat Bian yang sudah membelakanginya membuat ia kembali fokus dengan laptopnya.
Dion segera beranjak menghampiri Bian ketika melihat anak itu bergerak gusar dalam tidurnya.
"Kenapa?" tanya Dion memegang pundak Bian, anak itu sekarang sudah meringkuk di atas ranjangnya.
Bian membuka mata dan menggeleng pelan.
"Sini, jangan meringkuk kaya gitu, itu infus lo ketarik."
Dion membalikan tubuh Bian menjadi telentang, sekarang dapat ia lihat bahwa anak itu sudah berkeringat. Ia mengambil beberapa helai tissue yang ada di atas nakas dan mengelap wajah Bian.
"Sakit? Mas panggilin dokter dulu, ya?" Baru saja Dion hendak berdiri, namun Bian menahannya.
"Gak usah, di sini aja." lirih Bian sembari menggenggam tangan Dion.
"Ya udah, tidur lagi aja. Mas temenin."
Dion kembali duduk di samping ranjang Bian, ia memijit perut Bian dengan pelan, agar anak itu merasa nyaman.
"Mas, gue serius sama omongan gue tadi siang. Jangan kasih gue apapun," lirih Bian.
"Bian—
"Gue tahu kemungkinan itu bisa, Mas. Tapi gue gak mau kalau lo orangnya, walaupun hati itu bisa tumbuh lagi atau apapun itu gue tetap gak mau. Semua itu ada resikonya, gue gak mau lo nanggung itu semua."
"Bian, dengerin gue. Apapun yang dilakukan oleh setiap manusia pasti ada resikonya, termasuk kalau gue harus kasih hati gue buat lo. Tapi resiko itu bukan masalah buat gue."
"Iya emang gak masalah buat lo, tapi buat gue. Gue gak mau menghambat cita-cita lo yang bentar lagi bakal lo raih."
"Pokoknya gue gak mau, Mas. Gue juga mau fokus buat ujian, biar nilai gue bagus pas lulus nanti."
"Tapi janji lo baik-baik aja, ya? Sekali lagi gue tegasin sama lo, jangan ada yang ditutup-tutupi lagi dari gue."
Bian hanya mengangguk. Lalu dengan perlahan, mata indah itu terpejam, menikmati setiap usapan lembut sang kakak.
"Gue mana bisa marah lama-lama sama lo, dek!" gumam Dion pelan, ia membenarkan selimut Bian dan kembali duduk di atas sofa ketika melihat Bian sudah pulas.
•••
"Raka tangkep, bego!"
"Hah, capek gue. Bentar-bentar gue minum dulu."
Ketika anak lelaki tersebut berjalan ke pinggir lapangan, dari setengah jam yang lalu mereka masih saja sibuk bermain dengan bola orange tersebut. Kini mereka duduk berjejer di kursi penonton, padahal tidak ada yang nonton juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Ficção Adolescente°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...