kenangan adalah luka

669 56 0
                                    

Selepas makan siang, Rey masih sibuk bersenda gurau dan berbagi cerita dengan Ray. Siapa lagi yang menjadi bahan gunjingan Rey jika bukan Jaka. Kelakuan makhluk satu itu memang membuat Rey hobi menggodanya.

"Ada juga makhluk astral seperti dia. Setiap hari minta traktir. Apa mukanya sudah didempul semua sampai tidak punya rasa malu?" tanya Ray membuat Rey kembali terpingkal. "Jadi uangmu habis untuk mentraktirnya setiap hari?"

Rey meluruskan punggung sembari tersenyum kecut. "Gak juga sih, tetapi uangku juga mau buat apa. Sekedar bertahan hidup, kalau kurang tinggal nodong Kak Ray." Rey memperlihatkan gigi putihnya sebelum beranjak keluar dari restoran. "Aku juga pinjam, nanti kalau bonus sudah keluar baru tak balikin."

"Tidak ada yang suruh buat balikin. Kamu sendiri yang bersikeras."

Mereka berjalan di hiruk pikuk mal yang terkenal di Kota Batam itu. Jam makan siang dan hampir semua food court juga restoran ramai. Menuruni lantai demi lantai menuju basement. Ray berulang kali memperhatikan wajah Rey yang begitu bahagia. Mendengarkan celotehan yang membuat sebuah simpul tak kunjung lepas sedari tadi dari wajahnya.

Begitu sampai di tempat parkir, sebuah pesan membuat langkah Rey melambat.

"Dari siapa? Nay?"

Alis Rey bertaut dan pandangannya tertuju pada lelaki yang baru saja masuk ke mobil. "Sejak kapan Kakak beralih profesi menjadi cenayang? Bagaimana bisa Kakak tahu bahwa yang baru saja mengirimiku pesan adalah Naya?"

Ray tersenyum penuh arti, ia melirik Rey yang masih sibuk berbalas pesan. "Sampai kapan kamu mau menggantung perasaan Naya?"

"Apaan sih, Kak!" Rey mulai sewot jika perbincangan sudah beralih ke Naya.

Ray menstater dan melajukan mobil ke luar dari basement. "Bukankah kamu tahu, Naya itu mempunyai perasaan padamu. Kenapa kamu selalu mengelak akan hal itu?"

"Stop, Kak. Aku tidak suka pembicaraan ini."

"Kakak cuma heran saja. Bagaimana mungkin kamu tidak memiliki rasa dengan semua perlakuan manis Naya."

Rey melempar ponsel ke dashboard mobil dan bersedekap. "Sudah sering kukatakan, hatiku sudah mati bertahun-tahun yang lalu." Rey menghela napas panjang, pandangannya beralih ke luar jendela. Wajah Rey yang tadinya berseri seketika berubah sendu. "Tinggal menunggu kapan ragaku mati?"

Tiba-tiba mobil berhenti dan tubuh Rey terdorong ke depan tanpa sempat menahan tubuhnya. "Kak!" sewot Rey sembari membenarkan posisi duduk.

"Katanya mau mati? Ini belum kencang. Apa perlu diulangi?" tanya Ray dengan entengnya dan tanpa rasa bersalah. Ia tidak berniat melihat ekspresi wajah Rey yang kesal.

Rey menggumam sendiri mendengar jawaban Ray yang sengaja memancing emosi.

"Awas sekali lagi Kakak dengar kamu ngomong seperti itu lagi."

Mendengar ancaman dari Ray, lelaki berumur 22 tahun itu terdiam dan tidak berniat membantah. Perjalanan menuju kantor dealer yang terletak di kompleks Nagoya Hills tak memakan waktu lama mengingat letak mal berada tak begitu jauh.

"Gak usah masuk. Sini saja," pinta Rey ketika mobil sudah berada di seberang kantor.

Begitu memarkir di sebuah ruko, Ray mengeluarkan dompet dan memberikan salah satu Atm-nya.

"Sip. Besok Minggu aku mau ke mal. Mau beli sepatu." Setelah memasukkan atm Ray ke dalam dompet, Rey mengambil pesanan Jaka.

"Terserah, kamu mau beli tokonya juga boleh."

"Wih, udah menumpuk saja tabunganmu, Kak. Bisa ini dijadiin koperasi simpan pinjam."

"Iya, aku yang simpan, kamu yang pinjam." Ray terkekeh lalu mengacak rambut Rey yang berusaha menyingkirkan tangan sang kakak dan keluar.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang