Aku akan pulang

274 30 2
                                    

"Terima kasih, Rey," ucap Eza di sebuah cafe yang berada di bandara Hang Nadim.

Mereka tengah menyantap makan siang sebelum Eza kembali ke Jakarta setelah dua hari bersama.

Rey tersenyum tipis. Entah sudah ke berapa kali kakaknya mengatakan terima kasih selama pertemuan. Perlakuan yang sangat manis dan jauh berbeda dengan saat mereka bersama. Hal yang selalu diinginkan oleh dirinya sejak dulu. "Tidak usah mengatakan terima kasih. Bukankah ini hal yang biasa dilakukan sebagai keluarga?"

Eza merasa tertampar mendengar pertanyaan Rey. Entah mengapa ucapan adiknya terasa seperti sindiran baginya. Tentu saja karena ia tidak pernah melakukan hal itu selama di rumah.

"Yah, seharusnya kita melakukannya sejak dulu." Eza tertawa kecil.

Tak ada percakapan di antara mereka, hingga gema pemberitahuan kepada penumpang untuk segera melakukan check in terdengar. Mau tak mau mereka beranjak. Rey mengikuti Eza menuju gate keberangkatan.

"Ini sangat menyenangkan dan aku berharap bisa melakukan hal seperti ini seterusnya. Kuusahakan bulan depan Kakak datang lagi." Eza menepuk pundak Rey. Ia tak bisa mengungkapkan perasaannya. Adiknya mau menemaninya selama dua hari selama di Batam. Entah karena permintaannya atau Rey sendiri yang menginginkannya.

"Sepertinya Kakak harus bergegas. Terima kasih, Rey." Eza beranjak pergi menuju pintu keberangkatan sedang Rey mengikuti dari belakang.

Baru beberapa langkah, Eza melambatkan langkah dan memutar tubuh. "Sampaikan salamku untuk Ray. Terima kasih karena telah menjaga adikku selama ini. Aku yakin dia mampu memberikan semua yang kamu butuhkan daripada Kakakmu yang payah ini." Eza menatap wajah adiknya lekat. Hingga menyadari ia harus pergi. Ada keengganan untuk kembali jika bukan pesan dari Ayahnya yang sudah menanyakan keberadaannya selama seminggu ini. Bahkan demi menjaga perasaan adiknya, ia terpaksa menyembunyikan ponselnya.

Eza mengeluarkan tiket, berniat memberikan pada petugas. Begitu melangkah masuk, ia kembali berbalik dan mendekati Rey. Mulutnya ingin menanyakan satu hal sedari tadi, tetapi tertahan. Namun, kali ini dengan segenap keberanian ia bertanya. "Bolehkah Kakak memelukmu?"

Jika dulu Eza begitu takut melawan ayahnya. Sekarang, ia begitu takut kehilangan Rey. Benar yang dikatakan Ray. Ia tak bisa memaksa adiknya pulang, setidaknya sampai jiwa Rey benar-benar siap kembali menemui ayah mereka.

Melihat permintaannya tidak mendapat respon, Eza beranggapan adiknya tak mau dan kembali memutar tubuh.

"Kenapa harus minta izin untuk memeluk Adik sendiri?" Pertanyaan Rey membuat Eza kembali menghentikan langkah. Tak pernah menduga dengan jawaban yang akan terlontar dari mulut adiknya.

Ditatap adiknya dengan pandangan tak percaya dan mendekat. Segera dipeluk Rey dengan mata berkaca.

"Terima kasih, Rey!" ucap Eza menahan genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata.

"Kupikir kamu tak mau lagi menganggapku sebagai Kakak." Dengan segera Eza mengusap air mata dan melepaskan pelukan. Ia tersenyum penuh suka cita dan menepuk pundak Rey berulang.

"Kuharap Kakak bisa melakukan hal ini setiap hari. Kembalilah, Kakak akan sering menjengukmu!" Ada kelegaan luar biasa melihat sikap adiknya yang sebenarnya masih sama seperti dulu. Penuh kehangatan. Berulang kali ia menengok ke belakang seolah tak ingin berpisah. Namun, ia memutuskan tak ingin memberi beban lagi pada Rey. Ia berjalan masuk dengan membawa kebahagiaan, Rey telah menerima kesalahan dan memaafkannya.

"Baiklah, Kak. Aku akan pulang!"

Ucapan Rey berhasil membuat dunia Eza terhenti sesaat. Tinggal selangkah lagi, ia masuk ke gate keberangkatan dan lagi-lagi langkahnya tertahan.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang