"Rey, kamu gak kerja?" tanya Ray pagi itu. Ia hendak bekerja, melihat Rey masih bergelung di balik selimut. Sebenarnya ia penasaran, apa yang sebenarnya terjadi semalam.
"Malas," jawab Rey, singkat.
Ray menghela napas. Dilihat jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 7.20. Ia harus bergegas berangkat. Hari ini ada jadwal meeting. Kali ini, ia tidak bisa absen walau perasaannya tak karuan melihat adiknya semalam.
Dia berjalan mendekat, memegang dahi Rey yang ternyata tidak demam atau mungkin belum. Dilihat susu tadi malam juga sudah tak tersisa.
"Ya, sudah Kakak berangkat dulu. Sarapan sudah ada di meja. Makanlah. Nanti siang Kakak pesankan makanan, kayaknya tidak bisa pulang. Tadi juga belum sempat masak. Oh, ya obat sudah Kakak sediakan di meja bar. Diminum juga." Seperti biasa Ray akan memberi nasihat panjang lebar.
Rey berdehem dan Ray pergi setelah berulang kali memastikan keadaan. Jauh lubuk hatinya, ia tak tega membiarkan adiknya di rumah sendirian. Apalagi ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia juga paham Rey tak akan secepat itu bercerita. Adiknya butuh waktu untuk membagi beban.
Hari ini begitu sibuk bagi Ray, meeting kantor baru berakhir selepas makan siang. Ia bahkan lupa memesankan makan siang untuk Rey.
Jam dua beberapa panggilan masuk ke nomornya. Nomor baru. Penasaran, ia menghubungi balik.
"Pak, ini saya sudah di depan rumah tapi tidak ada orang yang keluar. Saya sudah mengetuk pintu berulang. Boleh saya tinggal pesanan di pintu pagar saja?" tanya yang di seberang.
Ray segera tahu, yang di seberang saluran adalah karyawan salah satu resto yang bertugas mengirim makan siang. Ia pun mengiyakan lalu mematikan sambungan dan berganti memanggil Rey. Panggilan pertama tak ada jawaban. Hingga kelima kali tak kunjung diangkat. Ray mulai gelisah. Tanpa memperdulikan waktu istirahat yang telah selesai, ia beranjak pulang.
"Rey, apa kamu tidak dengar orang mengantar makanan?" tanya Ray sesampai di rumah dan membuka gorden kamar Rey.
Rey masih di ranjang tersentak kaget oleh silau cahaya.
"Maaf, aku tadi masih tidur," jawab Rey berusaha bangun.
"Makanlah. Biar Kakak siapkan." Ray berlalu menuju dapur tanpa berniat kondisi adiknya. Dia beranggapan Rey stres dan memang butuh istirahat lebih lama.
Rey berjalan gontai menuju mini bar. Dipijit kepalanya yang terus berdenyut sejak semalam. Ray menyodorkan piring dan Rey menerima dengan ogah- ogahan.
"Kamu kenapa Rey? Wajahmu pucat sekali?" tanya Ray mendekat dan segera memegang dahi adiknya. "Rey kamu demam."
"Tidak apa-apa. Ini hanya karena kehujanan setelah minum obat juga sembuh." Rey mengelak seraya menepis tangan Ray.
Rey berusaha menyendok nasi. Baru satu suap perutnya bergejolak. Ia berlari menuju wastafel memuntahkan isi perut yang berupa cairan juga nasi yang baru saja dikunyahnya. Ray mendekat hendak membantu. Lagi-lagi mendapat penolakan. Baru beberapa langkah berjalan sembari meraba dinding, tiba-tiba Rey jongkok sambil memegangi kepalanya.
"Kenapa akhir-akhir ini kepalaku sakit sekali." Rey kesal dan memukul kepala.
Ray menahan tangan Rey, mencegah adiknya memukul kepala lagi. "Istirahatlah di kamar. sebentar Kakak buatin bubur."
Seperti anak kecil yang takut akan ibunya, Rey menurut. Masuk ke kamar dan beristirahat.
Setelah memastikan Rey beristirahat, Ray mengambil ponsel, memberitahu Nita- sekretarisnya- bahwa ia tidak kembali ke kantor dan akan melanjutkan pekerjaan dari rumah. Begitu sambungan terputus dan Ray sudah berganti pakaian. Ia berkutat di dapur, membuat kaldu juga bubur. Setelah semua sudah siap, ia masuk ke kamar Rey, membangunkan untuk sekedar mengisi perut yang tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
CasualeRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...