luka yang tersimpan

411 43 0
                                    

Mobil meluncur menuju perumahan elit yang berada di kawasan Pulomas. Tak ada pembicaraan hangat, hanya kebekuan yang tak kunjung cair meski Eza berusaha memancing dengan basa basi.

"Kamu tinggal di mana sekarang, Rey?" tanya Eza. Wajahnya begitu bahagia melihat adiknya yang dicari hampir empat tahun, kini berada di hadapannya.

"Aku tak berniat basa-basi, Kak." Rey menjawab dingin. Dia tak ingin kakaknya mencari keberadaannya setelah melihatnya kali ini.

Eza tak menyerah, terus mengajak Rey bicara dan kembali mengingat empat bulan kebersamaan meski hasilnya sama. Rey bungkam.

"Untuk apa kita ke sini?" tanya Rey dingin ketika mereka turun di sebuah rumah yang baru kali ini dia tahu.

"Sudah kubilang, Kakak mau bicara. Hanya denganmu," Eza keluar diikuti Rey yang mengekor.

Suasana asri taman menyambut kedatangan mereka. Berbagai macam bunga yang tengah mekar juga sebuah air mancur di sisi kanan rumah menambah keindahan rumah yang memiliki dua pilar besar di bagian depan.

Bergaya kontemporer memperlihatkan betapa elegannya rumah yang menjadi pilihan Kakaknya dan Rey menduga ayahnya yang membelikan. Tentu saja. Ayah akan memberikan segalanya untuk Eza, bahkan jika harus menjual jiwa.

Seseorang membuka pintu, wanita setengah baya mempersilahkan mereka masuk. Sekelebat wanita itu mengingatkan Rey pada simbok, pembantu yang telah membesarkan dan memberikan kasih sayang sejak kecil.

"Aku tahu kamu membenci rumah yang dulu. Makanya Kakak membeli rumah ini untukmu, Rey. Pulanglah!" Eza memutar tubuh, menatap adiknya dengan penuh harap. Dia tak ingin mengatakan bahwa ayah yang sudah memberikan untuknya.

Rey mengalihkan pandangan berusaha mengabaikan segala bentuk kepedulian yang tengah Eza tunjukkan.

"Aku tak suka basa- basi. Katakan apa yang ingin Kakak katakan! Aku harus segera kembali."

Eza menghela napas. Berusaha memahami kemarahan adiknya. Ditarik tangan Rey yang ditepis dengan kasar.

"Bagaimana kalau kita bicara di belakang?" Eza tampak antusias ingin memperlihatkan bagian rumah pada Rey. Mau tak mau Rey menurut. Ingin tahu maksud kakaknya. Apakah memang ingin mengajak bercengkerama atau membujuknya pulang. Ia tahu, Eza adalah lelaki yang berkemauan keras seperti ayahnya.

Begitu masuk, mereka dihadapkan dengan sebuah ruangan santai. Sebuah sofa empuk dengan lantai kayu. Di sisi samping ada tangga menuju sebuah taman dengan rumput jepang dan berbagai tanaman yang menambah kesan sejuk. Sebuah kolam kecil disisi lain taman dengan beberapa ekor ikan yang berhadapan dengan tembok.

"Rey, apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Kakak seperti tak mengenalimu lagi," tanya Eza menatap Rey dalam.

Yang ditanya terus bungkam.

"Baguslah kalau begitu. Memang lebih baik Kakak tidak usah mengenaliku atau setidaknya berpura-pura tidak tahu."

"Sayangnya, aku tidak bisa. Aku sudah mencarimu dan berjanji di makam Ibu untuk menjagamu jika bertemu denganmu lagi."

"Anggap saja janji itu sudah berakhir. Aku sudah cukup besar untuk menentukan jalanku sendiri."

"Rey, Ayah sakit? Dia merindukanmu dan berharap dirimu pulang."

Sorot dingin Rey tak berkurang meski Eza sudah mengeluarkan cara ampuhnya. "Ayah tak butuh aku." Intonasi Rey menunjukkan kemarahan dan kebencian. "Berapa kali harus kukatakan. Ayah hanya butuh Kakak."

Eza terdiam sesaat. Memikirkan mungkin saja cara yang ditempuhnya salah. Dalam benaknya, Rey masih sama, menyayangi ayah mereka. Namun, entah mengapa mulut Rey selalu mengatakan sebaliknya. "Ayah mungkin membencimu, tetapi hati Ayah masih menyimpan sedikit kebaikan untukmu, Rey."

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang