Rey tidak menceritakan pertemuannya dengan Eza saat berada di Jakarta pada Ray. Saat ditanya begitu sampai di Batam, ia hanya menjawab tidak sadar meminta sopir taksi mengantarkan ke sana. Ia tahu, Ray curiga dan memilih tidak menginterogasinya mengingat dirinya memang pernah lupa jalan pulang saat awal datang ke Batam. Dan ia cukup yakin, Ray mempercayainya. Ditambah ia pingsan. Kemungkinan Ray mengira Rey kembali depresi kembali ke tanah kelahirannya.
Pun saat kemarin sang Kakak mendatangi di tempat kerja. Ia merasa tak ingin melibatkan Ray dalam permasalahan dan ingin menyelesaikan sendiri. Kebetulan Ray juga banyak kerjaan yang mengharuskan lembur dna hanya menanyakan keberadaan lewat pesan. Begitu ia menjawab tengah berada di kost Jaka, Ray percaya begitu saja.
Rey mengembuskan napas panjang. Merutuki kebodohannya. Mengapa ia mau saja menuruti permintaan Eza. Tidur dalam satu kamar hotel. Dia tidak paham dengan dirinya yang mudah saja terbujuk. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Apa benar dia memang menginginkan semua perlakuan kakaknya? Apa hanya sekedar ingin tahu strategi apa yang tengah dijalankan oleh Eza? Entahlah.
Eza keluar dari kamar mandi, mengenakan setelan santai. Celana pendek dan kaos biasa. Dia merangkul Rey begitu duduk di samping adiknya.
"Aku sudah meminta waktumu hari ini pada atasanmu, Rey."
Rey berusaha tenang walau dia tak menduga dengan langkah yang diambil Eza. Meminta waktu pada Pak Iwan adalah perkara mudah dan tentu saja kakaknya sudah lancang membuka ponselnya semalam. Dia lupa tengah berhadapan dengan siapa. Anak lelaki yang bisa menghalalkan segala cara, seperti ayahnya.
"Kuakui, Kakak hebat, sama seperti Ayah." Rey masih saja membangun tembok meski Eza berusaha meruntuhkannya.
Eza tersenyum getir begitu Rey menyamakan dirinya dengan ayah mereka. Bahkan apa yang dilakukannya juga mirip dengan ayah. Melakukan kekerasan juga menghalalkan segala cara agar adiknya pulang.
"Ayo, kita pulang ke pulang, Rey. Kamu bisa melanjutkan sekolahmu. Aku yakin kamu jauh lebih pintar daripada aku ataupun Ayah. Kamu pasti sehebat Ibu."
Rey menyeringai dengan nada mengejek. Ia melepaskan rangkulan kakaknya dan berdiri, berjalan menjauh. "Aku tak punya rumah. Bukankah kamu tahu hal itu sejak dulu, Kak."
Melihat sikap adiknya, Eza menghela napas. Dia paham mengapa Rey masih bersikap seperti itu. "Jangan bertingkah kekanak-kanakan, Rey. Aku tahu, kamu menginginkan semua ini. Bukankah itu yang kamu tulis di buku?"
"Itu hanya tulisan anak-anak. Dan sudah menjadi masa lalu." Rey tersenyum seraya membuang muka.
Tak lama seorang karyawan hotel mengetuk pintu, membawakan sarapan yang dipesan Eza sebelumnya.
"Makanlah! Setelah itu kita lanjutkan di tempat lain kalau kamu mau. Seharian ini kita menjadi saudara."
"Dengan uang, Kakak bisa mendapatkan segalanya."
"Tentu saja."
"Sangat khas Ayah. Pasti Ayah sangat bangga melihat anak kesayangannya mewarisi keahliannya."
Eza mendesah melihat sikap adiknya. Terus mengingatkannya pada ayah mereka juga kesalahannya menampar Rey saat di Jakarta. "Sudahlah, Rey. Aku melakukan ini karena dirimu."
"Kamu melakukannya demi egomu, Kak."
"Terserah apa katamu. Makanlah!"
"Berhenti berpura-pura peduli padaku, Kak."
Eza mengambil salah satu piring dan menatap lekat adiknya. Tak lupa dia mengambil segelas jus buah dan menyuruh Rey duduk di sebelahnya. "Aku tidak pura-pura, Rey. Justru aku sungguh peduli padamu. Aku peduli saat menyadari bahwa kamu adalah adik yang harus kulindungi sejak dulu." Eza tersenyum, memperlihatkan ketulusan juga kasih sayang. "Makanlah, kita lanjutkan pembicaraan nanti."
Rey terdiam. Dia tahu ucapan kakaknya bukan bualan. Sejak kejadian beberapa bulan sebelum kecelakaannya, Eza memang sudah banyak berubah. Dia hanya tak ingin terhanyut dalam suasana yang diinginkannya bertahun-tahun lalu. Kebersamaan dalam keluarga. Diakui sebagai bagian. Dia menatap piring yang ada di tangannya dan bergantian kakaknya yang sudah memulai acara sarapan.
"Aku merindukanmu, Rey."
****
Rey tak bisa berbuat banyak selain menurut. Selepas sarapan, mereka menuju sebuah kedai kopi ternama. Duduk di pojok ruangan, kedua kakak beradik itu tampak intim. Eza akan terus melakukannya selama seharian hanya untuk mengajak bercengkerama adiknya. Lebih tepatnya membujuk agar berubah pikiran.
"Di mana kamu tinggal Rey? Apa kamu bersama dengan Ray?" Eza ingin tahu lebih banyak tentang adiknya dan teringat dengan lelaki yang diyakini membawa Rey pergi.
"Jangan bawa namanya."
"Tentu saja. Bukankah dia yang membawa adikku pergi?"
"Aku yang memintanya." Rey harus segera meluruskan kesalahpahaman agar kakaknya tidak mencatut nama Ray dan membawa pada jalur hukum. Dia tak mau Ray terlibat masalah dengan keluarganya.
Eza setengah tak percaya dengan ucapan adiknya. "Oh, ya?"
Eza mendesah melihat pembelaan Rey terhadap lelaki yang mudah baginya untuk dibawa ke ranah hukum. Akan tetapi, dia tahu adiknya akan membela dan mungkin membencinya jika melakukannya. Jadi tak ada jalan lain kecuali mengalah.
"Kenapa kamu begitu membelanya, Rey?"
"Dia Kakakku." Rey mengatakan dengan penuh penekanan. Nadanya seakan menyindir Eza yang berada di depannya.
Tentu hal itu membuat Eza sedikit terkejut. Terperangah dengan jawaban yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya.
"Dia adalah orang yang peduli padaku di saat keluargaku sendiri membuang dan mengabaikanku." Ucapan Rey terdengar penuh amarah.
Eza diam, kalah dalam satu serangan. Tak seharusnya dia menyinggung Ray. Namun, dia hanya ingin memastikan bahwa lelaki itu di balik menghilangnya Rey selama empat tahun silam. Mudah saja baginya mencari alamat Ray setelah tahu keberadaan Rey dan tak perlu berbasa-basi pada adiknya. Ia hanya ingin tahu reaksi Rey saja.
"Jangan coba-coba mendekati Kak Ray atau aku--"
"Apa yang akan kamu lakukan, Rey?" potong Eza penasaran. Dia tahu hubungan sejak kecil tentang Rey dengan Ray, tetapi tetap saja tidak menyangka akan mendapat reaksi sedemikian keras. "Kamu tak punya kekuasaan ataupun uang."
"Aku akan menghilang. Aku memang tidak punya apapun, bahkan langsung kalah dalam satu serangan. Namun, jika Kakak berani melangkah lebih lanjut, aku tidak akan segan untuk membuat Kakak menyesali tindakan yang dibuat. Bukankah Kakak hanya menginginkanku? Kak Ray tak ada hubungannya dengan kita."
Eza menghela napas panjang. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja sedang otaknya sedang memikirkan langkah apa yang akan dilakukannya jika sampai Rey melaksanakan niatnya. Dia tak ingin menggunakan kekerasan untuk membawa adiknya pulang karena sangat yakin bahwa Rey sesungguhnya merindukan rumah.
"Baik. Aku mengalah. Lalu apa ucapanmu berarti akan pulang?"
"Tidak."
Siang sampai sore, perdebatan antara kedua kakak beradik tak menemui muara. Rey bersikukuh untuk tidak pulang dan Eza masih memikirkan cara untuk membuat adiknya kembali di tengah keluarga.
Rey melirik jam di ponselnya dan beranjak pergi.
"Kupikir, kita sudahi saja. Lagipula jam kerjaku sudah selesai. Aku harus ke kantor."
Eza tertawa kecil mendengar gertakan adiknya. Dia begitu heran melihat sikap Rey yang jauh berbeda saat di rumah. Selalu mengalah pada ayahnya, tidak pernah membantah dan memilih diam. "Aku baru tahu, ternyata kamu bisa begitu keras kepala. Kupikir sifat ini kita dapat dari Ayah. Meskipun kamu menolak, darah Ayah mengalir dalam diri kita, Rey."
Gantian Rey yang diam. Dia tak bisa membalikkan pernyataan kakaknya dan memilih pergi begitu saja. "Terima kasih untuk segala kepedulianmu, Kak. Aku menghargainya, tapi alangkah baiknya Kakak tidak di sini membuang waktu."
Eza tersenyum tipis saat adiknya berlalu Dia memutar kepala, memperhatikan Rey yang perlahan menghilang. "Aku terpaksa melakukannya, Rey. Jika tidak begini, aku tidak akan mempunyai waktu berbicara denganmu. Tak bisakah kamu melihat kesungguhanku? Aku bukan lagi orang asing. Aku kakakmu, Rey."
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
AcakRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...