"Sampai kapan kamu akan di sini?" tanya Pak Atmaja pagi itu. Baik Rey dan Eza sama-sama terkejut mendengar pertanyaan ayahnya.
"Apa Ayah masih merindukanku sehingga menanyakan hal itu?" Rey mengambil sarapan yang baru saja disodorkan kakaknya. Omelette, pancake, jus buah dan susu. Menu yang menurutnya terlalu banyak untuk sarapan pagi.
Eza masih saja memperhatikan ayahnya yang menurutnya beberapa hari ini jauh tidak seemosional saat pertama kali melihat Rey pulang. Meski ucapan juga pertanyaan cukup tajam, sepertinya adiknya juga mulai terbiasa. Hari-hari sudah berlalu seperti yang diharapkannya. Walau ayahnya mati-matian menolak Rey, tetapi ketika sarapan. Adiknya berhasil menghidupkan percakapan. Entah hanya pura-pura atau memang ayahnya mulai menunjukkan kepedulian.
"Aku muak melihatmu!" Meskipun di sampingnya ada Eza, Pak Atmaja tak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya. Walau begitu Rey mulai terbiasa dengan perlakuan ayahnya. Tak masalah, asal mereka berkomunikasi layaknya orang tua juga anak.
"Oh, kupikir Ayah ingin aku di sini terus. Tenanglah, Yah. Aku akan secepatnya pergi."
"Rey!" Eza menatap adiknya, tak terima mendengarnya.
"Ayah sangat sehat, aku tak perlu khawatir lagi." Rey tak memedulikan kakaknya.
"Baguslah kalau kamu tahu! Mau sehat atau mati sekalipun aku tetap tidak--!"
"Ayah!" Eza menatap tajam ayahnya yang justru meneguk kopinya dan mengambil jas, berlalu pergi. Belum ada lima meter, Pak Atmaja memutar tubuh.
"Sebaiknya kamu juga lekas kerja, Za! Apa kamu ingin menjadi beban, sama sepertinya?"
"Ayah!" Kali ini, Eza terlihat kecewa. Ia menyusul langkah sang ayah dan membujuk agar berbicara lebih menyenangkan pada Rey. Tentu saja terjadi perdebatan di teras dan Rey tak memedulikan. Baginya tak masalah hinaan diterima, asal ayahnya mau melihat sedikit dirinya. Itu sudah cukup.
Eza kembali lagi ke kursinya setelah beberapa saat dan memulai kembali percakapan.
"Benar kata Ayah. Kakak seharusnya kerja! Jangan bertindak seenaknya hanya karena ada nama Ayah di belakangnya." Rey mengingatkan.
Eza tertawa. Ucapan Rey yang bernada menyindir tetap saja menggelikan di telinganya. "Terkadang kita perlu menjadi tidak disiplin."
"Itu akan menjadi kebiasaan buruk, Kak."
"Tak masalah. Aku sudah terlalu lelah menjadi penurut. Terkadang membantah tidak ada salahnya." Eza mengemukakan pendapatnya dan Rey tahu mengapa kakaknya bersikap demikian. Tentu saja karena ada dirinya. Eza benar-benar membuktikan ucapannya. Berusaha menjadi jembatan antara dirinya dengan ayah mereka. Hatinya merasa begitu senang dan sedih dalam waktu bersamaan. Melihat kesungguhan di mata Kakaknya, tetapi di satu sisi perpecahan dalam keluarganya semakin membesar. Sudah terlalu sering ia mendengar adu mulut dari lantai dua. Tentu saja antara Eza dan ayahnya. Dan semua karena dirinya.
"Hari ini kamu mau ke mana, Rey?"
"Aku mau pergi keluar, Kak. Tidak usah menemaniku. Aku berani sendiri."
"Tidak!" Eza tentu saja keberatan mendengarnya. Ia tidak mau terjadi sesuatu dengan adiknya dan ingin memantau sebisanya. Kejadian beberapa tahun lalu membuatnya begitu takut, jika Rey melakukan sesuatu yang nekat.
"Biar Pak Han yang mengantarku. Kakak tenang saja." Rey berusaha meyakinkan. "Lebih baik hari ini Kakak kerja, nanti gajinya dipotong Ayah banyak. Adikmu masih butuh belanja."
Eza tak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi ucapan Rey ada benarnya. Hampir sepuluh hari ia tidak melihat kantor. Sudah pasti banyak laporan yang tertunda. Namun, ia masih ingin menyenangkan adiknya. Menikmati waktu sebagai keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
De TodoRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...