kepedulian atau omong kosong belaka

464 50 0
                                    

Sabtu dan Minggu Rey kembali ke rumah Ray. Hanya pada jam kerja biasanya dia menginap di kost Jaka. Itupun karena Ray yang sering pulang larut dan Rey sedikit kesepian. Jadi dia selalu beralasan ingin bersama teman-temannya untuk mengalihkan suasana.

Suara pintu diketuk membuat Rey tersentak bangun.

"Rey, apa kamu sudah bangun?" tanya Arya sambil memutar knop pintu. Terkunci.

Yang dipanggil hanya berdehem, malas menjawab. Matanya masih lengket. Dilihat jam yang menggantung di dinding masih menunjukkan pukul 6.00. Baru saja dia memejamkan mata, mengusir lelah setelah seharian mengurusi berkas.

"Naya ada di depan. Katanya mau ngomong sesuatu sama kamu," katanya lagi.

Masih sedikit malas, ia menggeliat dan beranjak membuka pintu.

"Bisakah kamu suruh dia tunggu sebentar. Aku mau cuci muka dulu," kata Rey menuju kamar mandi sedang Arya menuruti perkataan Rey menyampaikan pesan pada Naya.

Selesai mencuci muka, Rey menemui Naya.

"Oh Naya. Ada apa? Oh ya, kamu mau minum apa?"  tawar Rey yang mendapat penolakan dari Naya. Rey pun duduk di kursi yang ada di sebelahnya sesekali mengucek mata.

"Maaf, aku mengganggu istirahatmu. Padahal kamu baru saja sembuh. Sebenarnya aku mau minta maaf. Sungguh aku tak tahu bahwa kamu--"

"Sudahlah, tidak apa- apa. Kamu kan tidak tahu, jadi tak ada yang perlu dipermasalahkan. Lagipula aku hanya sedikit syok saja," potong Rey berusaha menenangkannya dengan tersenyum.

Naya masih menunduk, menyesali perbuatan yang menjadi diluar kendali beberapa hari lalu.

"Sudah, tidak usah dibawa pikiran. Kayak baru kenal kemarin saja."

Naya terperanjat mendengar pernyataan Rey. Walaupun mereka sudah kenal lumayan lama, kenyataan bahwa dia tak tahu apapun tentang lelaki itu sedikit membuat hatinya kecut. Baginya, Rey terus saja membangun tembok dan tak mengizinkannya masuk lebih dalam. Bisa dibilang, Rey hanya mengizinkannya duduk di teras tanpa mempersilahkannya masuk ke hatinya. Dia bahkan tak bisa menerka, apakah Rey menyukainya atau tidak. Meski dia sudah terang-terangan menunjukkan rasa.

"Aku yang seharusnya minta maaf. Acara kemarin pasti gagal."

"Iya, mereka mengkhawatirkanmu, terutama Mei. Dia terus menanyakan apakah kamu sudah sehat? Sakit apa dan memintaku untuk mengantarkannya menemuimu. Heboh sekali dia."

Rey tersenyum, bukan karena lucunya sikap yang ditunjukkan Mei. Namun, menghargai ketulusan anak kecil itu sejak pertama kali bertemu.

"Bagaimana kalau lain kali kita jalan-jalan? Dengan anak-anak juga." Rey tiba-tiba mengusulkan.

Naya tersenyum mendengar rencana Rey. "Kita akan terlihat seperti pasangan muda yang memiliki banyak anak."

Rey tertawa kecil dan tidak memikirkan ucapan Naya yang sebenarnya memiliki maksud tertentu.

"Tidaklah. Orang akan menganggap kita kakaknya. Memang wajahku sudah terlihat setua itukah menjadi seorang ayah."

Naya menertawakan ucapan Rey yang benar adanya. Rey masih terlihat muda dan anak-anak panti selalu menganggap kakak mereka. Sama seperti dirinya.

Setelah cukup berbasa-basi, Naya pamit setelah menyerahkan rantang berisi makan malam.

"Sebagai permintaan maaf aku membuatkanmu makan malam. Hanya seadanya. Maaf, semoga kamu suka." Naya tersipu malu seraya menyerahkan rantang.

"Sepertinya ini akan habis di perut Jaka semua," canda Rey membuat Naya cemberut. Dia tidak suka jika lelaki itu menyebut nama Jaka, lelaki yang mengejar-ngejar seperti penagih hutang. Padahal dia sudah menunjukkan dengan jelas perasaannya pada Rey.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang