Begitu sesi tanya jawab dan diskusi selesai, Rey mengantarkan customernya yang diketahui bernama Alicia dengan disertai basa basi juga gurauan yang mengakrabkan.
"Tolong segera kabari perkembangannya, ya, Rey. Aku mengandalkanmu." Wanita itu dengan lancang mencium pipi kiri dan kanan Rey yang menanggapi dengan senyuman.
"Ok, nanti aku hubungi." Rey berusaha santai ketika mengisyaratkan dengan tangan akan menelponnya jika semua urusan sudah selesai.
Alycia masuk ke mobil dan berlalu pergi. Perlahan simpul di bibir Rey memudar. Ia menghela napas panjang, mengingat percakapan yang kembali membawa sebuah nama. Hidupnya yang tadinya tenang seketika bergejolak. Ia hanya bisa berharap bahwa wanita itu tidak melaporkan namanya pada lelaki yang disebutkan tadi. Setidaknya melupakan begitu saja dan hanya menganggap angin lalu percakapan yang membuatnya ketar ketir. Namun, ia tidak bisa begitu saja mencegah setelah mengatakan bahwa ia tidak mengenalnya. Kepura-puraan yang meresahkan.
Memutar tubuh, Rey berencana menggoda Jaka yang tengah memperhatikannya. Ia berjalan mendekat dengan senyum yang merekah, melupakan sejenak satu nama. "Pagiku menyegarkan sekali, Jak."
"Sudah mulai ini?" tanya Jaka yang menaikkan sudut bibir dengan sinis.
"Tentu saja, harus dilanjutkan lagi. Aku sudah membayar pecel tadi. Bukankah nanti siang kamu mau yang gratis juga?" Rey mendekat ke arah Jaka yang baru saja masuk ke bagian bawah mobil. Ia menyandarkan tubuh di badan mobil sembari bersedekap.
"Lama-lama aku kirim santet ke kamu, Rey." Jaka menjawab dengan sewot. Rey cekikikan dan Arya mendekat, menepuk pundak temannya sebelum beradu tos kembali.
"Jangan gitu, aku sudah promosikan kamu ke customerku tadi lho."
Jaka menyembulkan kepalanya dan bertanya, "Terus dia jawab apa?" Ia menarik-narik ujung celana panjang Rey berharap lelaki setinggi 170 cm itu lekas menjawab.
"Biasa, masih duduk di bangku cadangan. Sabar berada di jalur waiting list, tunggu sampai kamu jadi manager baru dia mau." Rey kembali cekikikan membuat Jaka kembali masuk ke bawah mobil.
"Sialan kamu, Rey. Tunggu sampai kamu dapat karma atas semua bullyanmu padaku."
"Ish, ngeri. Kabur dulu kalau begitu." Rey berjalan kembali ke ruangannya sembari cekikikan.
Belum ada lima menit duduk, Pak Iwan datang dan langsung mengempaskan tubuh di kursi setelah meletakkan berkas di meja.
"Bulan depan akan ada meeting di Jakarta, kamu yang berangkat."
"Aku tidak mau."
"Ini kesempatan bagus agar kamu cepat naik jabatan."
"Aku gak gila jabatan. Kasih saja ke anak baru agar mereka berkembang!" tolak Rey kedua kalinya.
"Kalau kamu naik jabatan akan lebih mudah bagimu melamar si Naya," rayu Pak Iwan masih belum menyerah.
"Aku belum ada niatan berkomitmen. Sekedar suka bukan berarti aku mau membangun hubungan." Rey mencoba menjelaskan.
Pak Iwan menatap Rey yang sudah dianggap anak sendiri. Sedikit banyak, dia tahu tentang Rey, tetapi tidak dengan permasalahan yang menimpanya sejak menginjakkan di Batam. Ray tidak pernah mau menceritakan apapun.
"Aku tak peduli kamu mau atau tidak. Aku sudah menulis namamu dan kamu harus tetap berangkat." tegas Pak Iwan memutar kursinya.
Rey menghela napas panjang. Tak mau lagi membantah, tetapi hatinya enggan untuk mengiyakan. Ke Jakarta, kota yang dulu ditinggalkan.
Akhirnya Rey mengalah. Memenuhi permintaan demi tuntutan kerja. Dia yakin, di kota sebesar Jakarta, tak mungkin rasanya bertemu dengan kakaknya. Dia akan berada di Jakarta Timur, kebalikan dari rumahnya di Jakarta Barat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
DiversosRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...