Saudara

244 29 0
                                    

Dua hari Rey izin kerja, begitu pula Ray yang melakukan pekerjaan dari rumah. Pagi ini Rey sudah bersiap kerja. Ray yang baru saja menyiapkan sarapan tersenyum menyambut.

"Lebih baik kamu mengundurkan diri saja, Rey."

"Kenapa?" Ray terkejut mendengar usulan Ray. Tak biasa.

Ray memutari meja bar dan duduk di samping Rey. Ia mengambil spaghetti miliknya. "Kesehatanmu memburuk dua bulan ini. Lebih baik kamu istirahat."

Rey tampak berpikir. Memang benar adanya, dua bulan ini ia tampak kacau. Ditambah dengan kedatangan kakaknya. Jiwanya yang perlahan tenang kembali terhisap dalam lubang masa lalu. "Akan kupikirkan, Kak. Sepertinya bukan ide yang buruk."

"Kakak senang kamu mau mempertimbangkan saranku." Ray merangkul pundak Rey dan tersenyum. "Kakak akan mengantarmu. Sepulang kerja, kamu harus pulang ke rumah! Nanti Kakak pesankan taksi. Tidak ada acara menginap lagi!"

Rey terkekeh mendengar jadwalnya. Terkadang ia merasa jengkel dan lucu sekaligus. Di umur 22 tahun dan terus saja diperlakukan seperti anak kemarin sore. "Kak, kamu akan menjadi seorang suami idaman. Lebih baik kamu lekas menikah dan berhenti mengurusiku. Aku bukan lagi anak-anak."

Ray tertawa kecil mendengar usulan adiknya dan tidak berniat menanggapi. Ia memilih menghabiskan spaghetti. "Sepertinya aku kehilangan selera dengan wanita."

"Jangan bilang kamu mengalami kelainan seksual, Kak."

Ray kembali mengulum senyum.

"Aku jadi ngeri Kakak lihatin!" Rey menggeser tempat duduknya.

Ray tertawa kecil. "Sudah! Habiskan sarapanmu!"

Ray tak bisa menyembunyikan binar bahagianya, melihat senyum yang mengembang di wajah Rey.

Selesai sarapan, Ray mengantar Rey ke tempat kerjanya.

"Kapan hari, Jaka dan Arya datang meminta maaf." Ray tak ingin menyinggung mereka berdua, jika tidak berjanji menyampaikan permintaan maaf yang tak kunjung diceritakan pada adiknya.

"Apa Kakak memarahi mereka?"

"Kakak terpaksa melakukannya!" Ray menjawab tanpa keraguan.

"Kakak terus saja menganggapku anak kecil yang harus dibela!" Rey tak terima dengan tindakan kakaknya. Yang terkadang terlalu berlebihan.

"Kamu adikku."

Rey kembali tersenyum. "Terima kasih, tapi Kakak ini selalu berlebihan. Aku tidak terlalu mempermasalahkan toh aku sudah menduga dengan semua itu."

Giliran Ray yang tidak percaya dengan ucapan Rey. Ia pikir adiknya sudah mulai membuka hati dan belajar memberi kepercayaan, nyatanya tidak.

"Aku tahu, tak ada yang lebih mengerti diriku kecuali dirimu, Kak."

Ray tidak ingin mendebat dan memilih diam. Ia tahu mengingat Rey sudah sering mengatakan mengapa begitu sulit memberi kepercayaan. Dan ia paham, trust issue termasuk efek dari luka yang disimpan selama ini. Apalagi keluarga sendiri yang telah membuat Rey babak belur seperti sekarang.

Sampai di tempat kerja, Ray ikut turun begitu melihat Eza juga sudah menanti di tepi jalan.

"Untuk apa kamu ke sini lagi?" tanya Ray, sinis.

"Aku ingin berbicara berdua dengan Rey. Lebih baik kamu berangkat kerja atau terlambat." Eza tidak terima.

Ray berusaha menahan emosi yang mendadak meluap dan menarik tangan adiknya menjauh. Namun, Rey hanya tersenyum, meyakinkan bahwa tak akan ada masalah di antara mereka.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang