Rasa itu masih ada dan menyakitkan

565 48 0
                                    

Rey kembali melenguh sebelum kembali tersentak bangun. Ia menatap langit-langit kamar sembari mengatur napas yang berkejaran dengan denyut jantung. Matanya berkaca mengingat mimpi buruk yang kembali datang.

"Apa kamu sengaja tidak meminum obat, Rey?" tanya Ray yang duduk di sisi kanan ranjang. Ia membuka botol minuman dan menyodorkan pada Rey yang masih di ranjang dan beberapa pil.

"Jam berapa sekarang, Kak?" Bukannya segera bangun, Rey justru mengalihkan pembicaraan. Nada suaranya serak, jelas tertangkap di telinga Ray yang tahu akan suasana hati adiknya.

"Baru jam satu."

"Kakak ngapain di kamar Rey?" Rey memutar tubuh, memunggungi Ray yang menghela napas.

"Kakak hanya ingin memastikan bahwa kamu tidur nyenyak setelah kejadian tadi sore." Ray bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke sisi lain ranjang, melihat Rey yang menutupi kepalanya dengan selimut. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Ray penuh kelembutan. Ia membelai pucuk kepala Rey. "Minum obatmu dan beristirahatlah. Besok pagi tidak usah kerja."

Rey membuka selimutnya dan berkata, "Jangan suruh aku cuti. Bisa gila aku kalau di rumah seharian."

Mendengar jawaban adiknya, Ray tersenyum dan duduk di tepi ranjang. "Kalau begitu, minum obatnya dan kembali istirahat!" Suaranya yang tegas terdengar melunak.

Dengan keterpaksaan, Rey bangkit dan mengambil obat. Setelah menelan pil dan menggelontorkan dengan air putih, ia membuka mulut, menunjukkan pada Ray bahwa ia sudah menelannya. "Aku mau tidur lagi." Rey kembali merebahkan tubuh dan berniat melanjutkan tidurnya.

Bukannya keluar, Ray justru kembali duduk di kursi santai yang berada di sisi lain ranjang. Menatap Rey yang sudah memejamkan mata. Ruangan berukuran 5 x 4 meter itu begitu sepi, hanya terdengar suara desauan AC.

"Kembalilah ke kamar, aku ngeri dilihatin."

Ray tertawa menanggapi ucapan adiknya yang belum sepenuhnya tidur. "Nanti Kakak kembali. Sudah! Tidurlah!"

BKUA

Jam sudah menunjukkan pukul 7.00, sedangkan Rey masih meringkuk di ranjang. Ray masuk, berjalan membuka gorden kamar hingga cahaya menimpa wajah Rey yang sontak memutar tubuh.

"Siapa yang bilang mau kerja? Ini sudah jam delapan." Ray berkacak pinggang dan berjalan ke arah ranjang, memperhatikan Rey yang menutup wajah dengan bantal. Sengaja ia berbohong. "Apa kamu selalu tidak sarapan kalau di kost Jaka?" tanya Ray seraya mengambil bantal yang dipakai Rey.

Tak hilang akal, Rey kembali menutup wajah dengan selimut. "Tahu begitu aku cuti saja."

"Cepat siap-siap. Kakak tunggu." Ray berjalan keluar setelah mendengar jawaban yang hanya berupa dehaman.

Begitu pintu ditutup, setengah malas ia beranjak bangun, mandi dan bersiap. Setelahnya, ia keluar kamar sembari menguap. Ray sudah menunggu di meja bar dengan sarapan yang sudah dingin.

"Mana ponselku, Kak? Sudah macam guru BP saja," gerutu Rey begitu duduk dan menengadahkan tangan.

"Karena kamu bandel, jadi pantas dihukum." Ray tak mau kalah, ia kembali ke kamar, bersiap-siap kerja tanpa memberikan ponsel Rey yang disita.

Rey menghela napas panjang, hafal dengan kelakuan kakaknya. Ia menyendok salad buah kesukaannya sebelum menyantap menu sarapan pagi itu.

"Aku sudah sangat patuh. Mana ponselku?" tanya Rey begitu melihat lelaki setinggi 180 cm keluar dari kamar.

Ray tidak menjawab pertanyaan adiknya yang baru saja meneguk susu hangat. Ia merogoh saku celana sebelum meminta Rey menangkap benda pipih yang ditanyakan. Gelagapan, Rey segera meletakkan gelas di meja dan menangkap ponselnya.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang