sebuah tekat

310 31 2
                                    

Jaka dan Eza melihat Rey dari sekat kaca yang memisahkan ruang kerja mereka dengannya. Terlihat Rey yang berulang kali melamun, sebentar kemudian menghela napas. Wajahnya bahkan tak menunjukkan senyuman sama sekali. Entah apa yang tengah dipikirkan.

"Kenapa si Rey?" tanya Arya sedikit khawatir.

"Halah, paling juga mikirin si Naya," canda Jaka. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil parkir di depan kantor.

Biasanya, Jaka dan Arya tidak begitu memperdulikan siapa yang datang. Mereka sibuk dengan pekerjaannya. Hanya saja, kali ini mereka sedikit memberi perhatian. Apa lagi saat lelaki yang memakai jas itu mendekat.

"Apakah di sini ada karyawan atas nama Rey Dian Dwi Atmaja?"

Jaka tentu saja langsung kepo mendengar nama Rey disebut. Seolah akan mendapatkan gosip baru, ia langsung mengangguk.

"Anda ada urusan apa dengan Rey?"

Lelaki itu mengedarkan pandangan dan ketika matanya menangkap Rey. Ia menjawab pertanyaan Jaka setelah memutar kepala. "Aku Kakaknya."

Pak Iwan yang baru saja datang, mengira customer datang dan menanyakan maksud kedatangan seraya mempersilahkan naik ke ruangan.

Sedangkan Jaka dan Arya saling beradu pandang setelah mendengar jawaban Eza.

"Dia Kakaknya Rey?" tanya Jaka tak percaya.

"Lalu Kak Ray sebenarnya siapa?"

"Kamu tanya aku. Aku tanya siapa?" Pandangan mereka menuju ruangan Rey.

Rey yang tengah melamun terkejut mendengar pak Iwan masuk ke ruangannya.

"Rey, ada yang mencarimu!"

Rey lekas berdiri dan tersenyum menyambut tamu yang datang. Begitu Pak Iwan yang menghalangi pandangannya menyingkir, wajahnya berubah pias melihat siapa yang datang. Sekuat tenaga ia menelan ludah.

"Bisa biarkan saya berbicara empat mata saja?" pinta Eza pada Pak Iwan.

"Tidak usah, biar kita bicara di luar saja." Rey menatap Eza tajam.

Tanpa pamit atau basa-basi pada Pak Iwan, Rey keluar. Disusul Eza di belakang. Wajahnya begitu tertekan hingga tak menyadari Jaka dan Arya yang memperhatikan.

******

"Untuk apa Kakak datang? Bukankah kita sepakat, setelah hari itu Kakak akan melupakan pertemuan kita?" tanya Rey, dingin.

Eza menghela napas dan melonggarkan dasi juga meletakkan jas di sofa. Ia menyuruh Rey untuk duduk di dekatnya. Sayang tak diindahkan.

Dari balkon kamar hotel Pasific, Eza menatap keluar. Menatap hamparan pemandangan.

"Apa kamu ingat saat aku sakit dan kamu menjagaku di rumah sakit? Itulah pertama kali aku merasa terhubung sebagai saudara denganmu. Selama ini, aku selalu mengabaikanmu karena ayah selalu mengatakan untuk menjauhimu dan aku tak punya keberanian untuk membantah." Ada sesal dalam kalimat Eza.

"Aku tidak berniat bernostalgia."

Eza berjalan mendekat.

"Ini kedengaran egois tapi Kakak tetap memintamu untuk pulang. Mari kita mulai lagi, Rey!"

"Kamu tahu jawabanku bukan, Kak? Tidak bisakah kau berhenti menanyakan hal itu?" Rey memalingkan wajah.

"Rey, beri kakak kesempatan lagi untuk memperbaiki semua ini?"

"Aku sudah memberi kesempatan padamu, Kak. Saat aku kehilangan ingatan. Bukankah itu waktu yang lama?"

Eza duduk kembali ke sofa, menunduk, menatap lantai bermotif kayu.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang