luka itu nyata

465 45 0
                                    

"Mbok!" panggil Rey pagi itu sebelum berangkat sekolah.

Simbok yang tengah mencuci piring menoleh ke arah suara dan tersenyum.

"Apa ada mas Rey?" tanyanya lembut membuat Rey semakin tidak enak untuk mengatakan maksudnya. Ia terdiam dengan pandangan terus bergerak ke kanan dan ke kiri.

Simbok, pelayan dengan usia 50an. Matanya sayu akibat lelah dengan uban yang mulai tumbuh disana sini. Tubuhnya tak begitu tinggi, badannya juga tak begitu berisi namun kasih sayang kepada Rey tak bisa dipungkiri.

"Kenapa Mas?" tanyanya sekali lagi. Simbok jongkok di hadapan Rey dan menatap wajah Rey yang menunduk.

"Anu mbok. Begini..."

"Begini apa?"

Rey semakin bingung harus mengatakannya.

"Mas, mau tambahan uang saku?" tebak simbok.

Rey mengangguk tanpa melihat wanita yang telah menyayanginya selama ini.

"Aku mau membeli bahan membuat kue, Mbok," kata Rey masih menunduk.

"Jadi mas Rey mau membuatkan kue untuk Bapak?" tanya Simbok membuat Rey mendongak. Seketika wajahnya berubah ceria mengetahui wanita itu paham maksud keinginannya. Rey mengangguk dan simbok mengusap rambutnya lembut sambil tersenyum.

Dilap tangannya yang masih basah dan beranjak masuk ke kamar. Rey mengikuti dari belakang. Simbok yang sudah menemukan dompetnya segera mengulurkan uang seratus ribuan. Seketika wajah Rey berbinar. Dalam benaknya, ia akan membuat kue yang besar.

"Terima kasih, Mbok. Nanti kita buat kue yang besar, ya, sebesar rasa sayangku pada Ayah?" pinta Rey sumringah.

Simbok tak bisa menahan rasa terkejutnya. Meskipun Rey selalu diabaikan, tetapi tak ada kebencian yang ditunjukkannya

"Iya, nanti kita buat yang besar. Apa nanti Mas Rey mau belanja sama Mas Ray?"

Rey mengangguk penuh semangat lalu berpamitan.

*****

"Makasih, ya, Kak, udah anterin aku belanja. Doain Ayah suka," kata Rey sore itu sepulang berbelanja.

Ray tersenyum dan Rey berlalu masuk ke dalam gerbang setelah menyapa Pak Handoyo.

Rey berlari memasuki rumah dan memanggil Simbok yang tergopoh menyambut tuan kecilnya.

"Aku sudah membelinya Mbok. Sebentar kita buat, ya. Rey ganti baju dulu," ucap Rey menyerahkan kantong plastik belanjaan dan pergi ke kamarnya. Dari lantai dua, Eza yang baru saja minum memperhatikan adiknya.

Rey begitu antusias ketika simbok memulai menimbang juga membuat adonan. Tak henti- hentinya berceloteh membuat wanita paruh baya itu berkali- kali mengulas senyum.

Tepat sebelum makan malam, kue sudah siap. Kue ulang tahun berbentuk bulat dengan diameter 20 cm, di atas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun. Rey terus melontarkan kekagumannya dengan hasil tangan simbok yang begitu sempurna dimatanya.

"Terima kasih, Mbok. Ini seperti yang dijual di toko lho!" pekik Rey kegirangan begitu kue selesai.

Simbok kembali membuat simpul di bibirnya. Ia merasa begitu bahagia melihat senyum dan tawa tuan kecilnya.

"Kakak lihat. Kue bikinan Simbok begitu bagus. Ayah pasti suka," ucap Rey seraya menarik tangan kakaknya yang tak menepis tangan adiknya.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, Rey mulai gelisah. Ayah yang dinantinya belum juga pulang. Berulang kali ia melongok keluar dan menghela napas.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang