akhir kebencian

452 29 0
                                    

"Apa kamu yakin Eza sungguh berubah dan tidak memiliki maksud di belakangmu, Rey?" tanya Ray. "Bagaimana jika Ayahmu sengaja menyuruh Eza agar kamu berubah pikiran dan menyerahkan padanya?"

Rey terdiam, melihat berkas yang baru saja diurusnya. Pelimpahan warisannya kepada Eza. Namun, suara Ray sewaktu di Batam terasa begitu nyata di telinganya. Sepulang bertemu Richard yang juga sedikit enggan dan terus saja menanyakan keinginannya, membuat kepalanya sedikit berat. Ia sudah membulatkan tekad, tetapi orang di sekitarnya seakan tidak mendukung keputusannya. Kebebasan adalah hal yang ingin dicarinya. Bebas dari perkara warisan yang membuat keluarganya pecah. Mengapa semua harus meragukan keputusannya?

Rey memijit pelipisnya. Sudah seminggu ia tidak meminum obatnya yang setengahnya tertinggal di hotel. Meminta ke apotek tanpa resep dokter juga rasanya tidak mungkin. Ia hanya beranggapan akan membaik dengan sendirinya. Apalagi kakaknya berusaha menyenangkan dirinya. Dan ia tak ingin tergantung pada obat walau tahu konsekuensi yang sering dikatakan Ray padanya.

"Ini bukan masalah besar! Bahkan jika memang Kak Za hanya berpura-pura. Setidaknya ada sedikit kebaikan yang sempat kurasakan, meski mungkin itu adalah kepalsuan." Rey bermonolog seraya menutup telinga dengan bantal.

Ia sudah merasa begitu mengantuk, tetapi entah kenapa matanya enggan terpejam. Suara di kepalanya bagai dengungan lebah. Sangat menggangu malamnya.

Lagi-lagi dini hari ia baru bisa tertidur dan terbangun oleh panggilan kakaknya untuk segera sarapan.

"Sepertinya kamu sangat capek, Rey. Jam segini masih tidur. Apa kamu sakit?" Eza sedikit cemas melihat wajah pucat adiknya.

"Tidak apa-apa kok, Kak. Mungkin cuma kelelahan. Nanti siang, biar aku istirahat lagi." Rey tersenyum meyakinkan.

"Nanti Kakak antar ke rumah sakit, check up."

"Tidak usah!" Mendengar rumah sakit saja sudah membuat Rey enggan. Apalagi harus masuk periksa. Empat tahun yang membuatnya bolak balik rumah sakit baginya sudah cukup.

Baginya, rumah sakit identik dengan tangisan juga kehilangan. Bukan sebuah harapan. Hal itu membuatnya begitu membenci rumah sakit. Untuk apa orang ke rumah sakit jika hanya menunggu kabar kematian? Setidaknya itu yang selalu ada dalam pikiran Rey.

"Duluan, Kak. Rey menyusul." Rey hendak menutup pintu, tetapi Eza langsung merangkulnya.

"Sudahlah. Ayo lekas sarapan. Tidak usah mandi!"

Mau tak mau Rey menurut dan menyejajarkan langkah kakaknya. Seperti biasa, sarapan sudah tersedia. Hanya tinggal menunggu ayahnya datang. Begitu duduk, Eza langsung menyiapkan menu untuk adiknya dan menyodorkan padanya.

"Terima kasih, Kak. Aku sangat menikmati hari-hari bersamamu selama beberapa hari ini. Mungkin aku akan kembali beberapa hari lagi."

"Kenapa kamu begitu terburu-buru?" Eza tampak kecewa mendengarnya. Raut wajahnya mendadak lesu dan tidak bersemangat.

"Anak tidak tahu diri memang sudah seharusnya sadar diri!" Pak Atmaja datang dan meletakkan jas di kursi. Segera ia duduk dan menyeruput kopinya. Eza sontak menatap ayahnya.

Sedang Rey hanya tersenyum tipis dan ketika seorang pelayan mengantarkan salah satu menu dan berniat kembali ke dapur. Rey memanggilnya dan meminta mengambilkan sesuatu dari kamarnya.

Pak Atmaja terus saja memperhatikan Rey yang enggan menyantap sarapannya pagi itu.

"Kenapa kamu tidak lekas makan, Rey?" Eza sedikit khawatir dengan kesehatan adiknya yang tidak seperti beberapa hari sebelumnya.

Mendengar pertanyaan kakaknya, Rey yang sedari tadi menetralkan pikirannya mengambil susu hangatnya. Baru meletakkan kembali, pelayan yang disuruhnya datang dan memberikan berkas yang dimintanya.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang