Dia tak bersalah

287 28 0
                                    

Ray masih pada pendapatnya, Rey belum bisa kembali ke keluarganya. Luka pengasuhan yang mengakibatkan traumanya belum menunjukkan perubahan. Bahkan masih saja kambuh.

"Aku masih bisa mempertimbangkan dirimu datang menjenguk Rey untuk menebus kesalahan, tetapi tidak jika harus membawanya pulang."

Ray bergegas pulang, mengingat Rey sendirian di rumah dalam keadaan sakit. Berulang kali ia memukul stir, jengkel mengingat tindakan Eza. Namun, ia masih berharap Eza paham apa yang sebenarnya terjadi dan menghentikan aksi untuk membujuk Rey pulang.

Baru saja sampai memarkir mobil, suara bel kembali terdengar. Ray yakin kali ini stafnya yang datang membawa berkas laporan.

Namun, ternyata salah. Jaka dan Arya tersenyum tanpa rasa bersalah. Ray menghela napas panjang. Mengatur emosi yang sedari tadi naik turun.

Setengah terpaksa, Ray membuka gerbang dan melihat Arya juga Jaka yang berulang kali mengusap keringat yang bercucuran. Dilihat mereka berjalan kaki dari jalan raya hingga perumahan.

"Hai, Kak Ray, gak kerja?"  Jaka sedikit canggung melihat Ray keluar dengan muka tak bersahabat seolah sudah tahu apa yang terjadi di antara mereka.

"Iya, aku kerja di rumah." Ray berusaha tersenyum seramah mungkin meski tangannya ingin melayangkan sebuah tinju ke wajah mereka berdua.

Jaka dan Arya saling bersitatap dan menyikut. Ray yang tak tega mengusir akhirnya mempersilahkan masuk dan duduk di teras.

"Kalian jauh-jauh dari Nagoya apa mau menjenguk Rey?" Ray mencoba berbasa-basi setelah masuk kembali ke rumah lalu menyodorkan teh kotak dingin.

Jaka langsung mengambil dan menyeruput sambil mengucapkan terima kasih. Ia memang kehausan.

"Iya, kata Pak Iwan Rey sakit. Jadi kami ke sini mau menjenguknya. Apa dia sudah baikan?" Arya sedikit kikuk melihat wajah Ray yang tak menunjukkan senyum seperti biasanya bahkan terkesan ketus.

Ray diam membuat kecanggungan di antara mereka semakin kentara.

"Dia demam hingga berulang kali mengigau. Aku tak pernah melihat dia sedemikian kacau dalam dua tahun ini. Aku yakin terjadi sesuatu di antara kalian mengingat Rey sebelumnya bilang akan menginap di tempat kalian." Ray menjelaskan setenang mungkin.

Jaka dan Arya terdiam. Menunduk seolah tengah diadili.

"Sebenarnya, semalam orang yang mengaku sebagai Kakaknya datang. Ia meminta kami membujuk Rey untuk pulang ke Jakarta dan mengatakan Ayahnya sakit." Arya buka suara melihat nyali Jaka menciut, tidak seperti saat berhadapan dengan Rey semalam.

Mata Ray membulat lalu mengalihkan pandangan ke arah Arya dan Jaka yang menunduk ketakutan.

"Apa Rey mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan masalahnya?" Pandangan tajam Ray terlihat sangat mengintimidasi.

Jaka dan Arya saling melirik sebelum mengatakan bahwa Rey tak suka jika mereka ikut campur dalam masalahnya.

"Lalu apa yang sudah kalian katakan pada Rey?" Tangan Ray terkepal, menyalurkan emosi di dalamnya.

"Sepertinya saya sudah mengatakan sesuatu yang kelewatan. Saya terbawa emosi mengingat Rey tak berniat menemui Ayahnya yang tengah sakit." suara Jaka terdengar serak dan dipenuhi ketakutan.

Ray memijit pelipisnya. Merasakan tekanan yang dihadapi adiknya.

"Kalian tahu apa tentang Rey?" Ray mendesah. Ingin rasanya ia meluapkan segala emosi yang menumpuk di otaknya sejak siang ini. Namun, ia tahu mungkin saja terjadi kesalahpahaman. "Lalu kalian menghakiminya tanpa bertanya terlebih dahulu?" Ray memastikan pendapatnya dengan apa yang terjadi semalam.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang