jangan pulang

426 30 0
                                    

Hari berganti, setiap dini hari, Rey selalu mengendap ke kamar Ray. Terkadang duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Tak jarang, ia tidur di sebelah kakaknya. Memperhatikan lelaki yang telah menemani hampir sepanjang hidupnya dalam suka duka.

Dan sebelum subuh, ia akan kembali ke kamarnya agar tidak menimbulkan curiga.

Malam ini seperti biasa, Rey kembali ke kamar Ray. Baru saja duduk, menggeliat dan melihatnya tengah memandanginya.

"Apa yang kamu lakukan di kamar kakak?" tanya Ray setengah mengantuk. Ia mengucek matanya dan menyipitkan mata, melihat jam di dinding tak jauh dari ranjang. "Kenapa kamu belum tidur jam segini?" Ray heran melihat adiknya belum juga tidur padahal  jam sudah menunjukkan pukul 1.45.

"Apa kamu kebanyakan tidur siang? Atau baru saja bermimpi buruk?" Ray menegakkan punggung dan menyandarkannya di tembok seraya menguap.

Rey tak menjawab. Ia memilih masuk ke dalam selimut dan memunggungi kakaknya.

"Aku mau tidur disini," kata Rey merajuk seperti anak kecil.

Ray mengusap rambut Rey. Ia hafal dengan tabiat adiknya. Ia akan menjadi lebih manja seperti anak kecil ketika merasa takut dan gelisah. Meskipun umurnya sudah menginjak 23 tahun, Rey tak jarang bermanja-manja dengannya. Ray tak pernah mempermasalahkan justru menyukainya kedekatan mereka.

"Kamu yakin dengan keputusanmu?" Ray masih saja membuka pembicaraan yang akan membuat adiknya mengurungkan niat pulang.

"Tentu saja, Kak. Aku harus mengakhirinya."

"Mengakhiri?" Ray bangkit dan membalikkan tubuh Rey yang langsung menggeliat dan protes karena diganggu tidurnya.

"Apa maksudmu mengakhiri?" tanya Ray penasaran.

"Oh, mengakhiri kebencian dalam hatiku dan berdamai dengan ayah. Maksudku begitu." Selesai mengatakannya, Rey tertidur kembali.

Ray memperhatikan Rey dengan penuh tanda tanya. Pikirannya diliputi keraguan. Bisakah Rey melakukannya? Mengakhiri kebencian dan menerima ayahnya dengan segala sikapnya. Ia merasa bukan perkara mudah, mengingat psikis Rey masih belum sepenuhnya waras. Yang ditakutkan jika Rey kembali berbuat nekat. Mengakhiri hidup jika apa yang diinginkan tak sesuai dengan harapan.

Ray yakin, adiknya berharap setelah kepergiannya. Ia akan diterima sebagai keluarga atau mungkin ayahnya menyesali tindakan dan mulai merindukan anaknya.

Rey memang belum memutuskan kapan akan pulang. Namun, pikiran Ray tak bisa tenang sejak mendengar keinginan pulang. Membayangkan adiknya kembali bersama di bawah bayang-bayang kekerasan verbal yang harus ditanggung sepanjang hidupnya. Ia tahu Rey seorang lelaki, tetapi jiwanya terlalu sensitif.

Ray mengusap rambut Rey. "Apa yang kamu pikirkan sebenarnya?"

****

Pagi hari, ketika Ray tengah mempersiapkan sarapan. Sebuah panggilan masuk ke ponsel Rey.

"Rey, ada yang memanggilmu. Kayaknya Naya itu!"

"Biar saja, sebentar keluar!" jawab Rey dari dalam kamar.

Panggilan tak kunjung berhenti mengusik keingintahuan Ray yang langsung mematikan kompor dan berjalan mengambil ponsel yang tergeletak di sofa santai. Belum sempat membaca nama yang tertera, Rey sudah lebih dulu mengambilnya.

"Eits, ga usah kepo!" Rey berlalu keluar rumah.

Dari balik kaca, Ray memperhatikan. Ia merasa ada yang sedang disembunyikan oleh Rey. Ia sangat yakin, adiknya merencakan sesuatu yang tak boleh diketahuinya. Sangat khas. Dan ia berjanji akan mencari tahu apa itu.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang