sejejak iri

1.5K 83 2
                                    


Anak lelaki berusia tujuh tahun itu berlari dalam pekatnya malam. Ia ketakutan dan ingin segera keluar dari tempat mengerikan bernama hutan. Namun, langkah kakinya terhenti dan ia jatuh terjerembab. Tubuhnya terasa sakit begitu menghantam tanah. Dalam detik itu juga matanya memanas. "Kak Ray, kenapa tidak jemput Rey?" tanyanya pada keheningan.

Tak ada jawaban. Lelah memaksanya berhenti lari dari kenyataan. Menghadapi malam tanpa cahaya. Ia meringkuk, memeluk kegelapan dan kesendirian. "Mbok, peluk aku."

Laki- laki yang tengah tertidur itu meremas selimut dengan kasar dan melenguh sesekali. Keringat membanjiri dahinya lalu sekejab ia tersentak. Bangun dari mimpi buruk yang selalu menghantui hari-hari. Napasnya terengah, bayangan mimpi masih dibawa dalam ingatan yang tak mau juga amnesia. Berulang kali menelan ludah, berharap resah dalam dada berkurang.

Ia menutup wajah dengan pergelangan tangan, berusaha mengatur napas dan menenangkan pikiran yang kalut dalam melawan siluet masa silam.

Wajahnya yang putih seperti pualam, basah oleh keringat. Bibir yang tipis terus saja mengeluarkan napas yang terengah.

Bersamaan dengan itu, suara ponsel berdering.

Rey Dian Dwi Atmaja, lelaki yang tengah bergumul dengan pikirannya kembali tersentak kaget. Mengabaikan ponsel yang terus bergetar. Hingga panggilan terhenti, Rey tak juga beranjak dari ranjang.

Kembali, ponsel berdering, pertanda yang di seberang masih belum menyerah. Rey menutup wajah dengan kedua tangan, menata pikiran yang acak-acakan.

Setelah raga mulai diajak kompromi, ia pun bangkit. Ingin mengabaikan panggilan yang sedari tadi belum berhenti. Namun, yang terjadi tak sesuai keinginannya. Mengembuskan napas panjang, ia mengangkat panggilan dengan malas. "Ya, halo."

"Rey, apa kamu baik- baik saja?" Ada nada khawatir dalam pertanyaan. Seolah tahu persis yang tengah terjadi dengannya.

"Ya, aku baik- baik saja," Rey mengusap dahinya dengan tisu yang berada di samping kasur.

"Kamu tidak sedang berbohong, 'kan?" tanya dari seberang memastikan.

Rey terdiam. Sekuat apapun ia menutupi, entah bagaimana caranya lelaki di seberang sambungan bisa tahu. Ray Sakti Gumilang. Salah satu orang terpenting dalam hidup Rey.

"Kenapa telepon jam segini. Ini baru jam empat?" Rey mengalihkan pembicaraan, tak ingin berlama-lama membahas kondisi hatinya yang tengah tak karuan.

"Ntahlah, perasaanku tidak enak. Jadi aku telepon untuk memastikan. Apa kamu bermimpi buruk lagi?" Yang di seberang sambungan masih saja ingin tahu.

"Aku baik- baik saja. Tidurku juga sangat nyenyak jika tidak ada telepon yang mengganggu. Kakak harus bertanggung jawab karena setelah ini aku pasti tidak bisa tidur lagi!"  Rey terpaksa mengomel untuk menutupi sandiwara kali ini. Mengambil air minum yang tergeletak di lantai, dia menenggak hingga air habis.

"Ya sudah kalau begitu. Istirahatlah. Maaf mengganggumu. Kakak hanya khawatir. Bagaimana kalau nanti pulang kerja ku jemput? Kita makan di tempat biasa."

Rey mengiyakan permintaan lelaki yang di seberang. Tidak ingin berlama-lama berbincang. Dimatikannya panggilan dan keheningan malam menyergap, lagi. Dia mengusap wajahnya dengan kasar sebelum meletakkan kembali ponsel dan beranjak keluar.

"Tumben mau mandi jam segini?" Arya teman satu kost yang juga teman kerja bertanya. Begitu keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambut dan melihat Rey sudah duduk di ruang tengah.

Lelaki dengan mata sipit juga kulit bersih itu merasa heran melihat Rey yang sudah bangun dan termangu di kamar depan. Handuk juga sudah nangkring di pundaknya. Seperti bukan kebiasaannya.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang