epilog

657 27 2
                                    

"Kak, bolehkah aku mengeluh?" tanya Rey begitu tiba di salah satu hotel ternama di Papua.

Tanpa jawaban, Rey tahu kakaknya akan mempersilahkannya mengeluh hingga di batas kata. Tanpa penghakiman. Menjadi pendengar yang baik lalu membuang segala hal yang didengar tanpa orang lain tahu.

"Apa kamu kecapekan, Rey?" Ray berpikir dia terlalu tergesa membawa Rey pergi keluar pulau mengingat dia masih dalam masa pemulihan.

Rey menggeleng sebagai jawaban dan Ray duduk di sampingnya. Memperhatikan dari kaca jendela, hamparan air dan pegunungan. "Apa aku kurang bersyukur?"

Ray memilih diam. Dia tak bisa mengatakan adiknya kurang bersyukur atau tidak. Mengingat sebuah kejadian dan dia harus menelisik dari berbagai sudut pandang.

"Mereka selalu berkata, seharusnya aku berterima kasih karena semesta telah memberiku kehidupan." Rey mendesah.

"Tapi mereka tak tahu. Aku hanya ingin lenyap dari peredaran. Berharap mereka tak mengingatku sebagai potongan kehidupan. Lalu semesta menampar hingga menyadarkanku ... bahwa aku masih memiliki satu pelita." Rey menunduk, mencari kata yang tepat mengatakan betapa dia begitu beruntung mendapatkan satu cinta itu. "Terima kasih, Kak. Tidak pernah pergi dariku. Jika suatu saat Kakak pergi membawa hidup baru, aku tak akan--"

"Aku tak akan pergi, Rey. Dan perlu kamu tahu, aku akan membawamu selalu bersamaku."

"Kamu tak perlu mengasihaniku, Kak. Aku baik-baik saja mulai sekarang. Kakak sudah membantuku mengangkat beban yang selama ini kubawa."

"Justru kamu berhentilah mengasihani diri sendiri, Rey. Sebagaimana semesta menempatkanku dalam kehidupanmu, kamu adalah bagian ceritaku. Dan akan selalu seperti itu. Kakak tidak akan melepaskanmu hingga waktu kamu sendiri yang memilih berbahagia tanpaku." Ray menegaskan ucapan yang selalu diulang-ulang setiap Rey berada di titik terendah. Tentang eksistensi yang begitu berharga untuk disia-siakan begitu saja.

Rey memutar kepala, menatap sorot yang diliputi kasih sayang. Orang asing yang memberinya tempat untuk pulang dan pelukan ketika dirinya terluka parah menghadapi badai kehidupan. Bibirnya mendadak kelu untuk menyampaikan betapa sayangnya dia pada lelaki itu.

"Jika kamu belum mampu berjalan, aku akan di sampingmu menggandeng di setiap langkah. Hingga nanti kamu bisa berlari menyambut bahagia. Kakak akan tetap menjadi rumahmu untuk kembali." Ray mengatakan tanpa keraguan. Dia sudah lebih siap dari sebelumnya jika suatu saat Rey akan pergi meninggalkannya.

Rey membuang muka. Hatinya mendadak berubah melankolis. Satu hal yang selalu dirindukan. Rumah. Padahal selama ini dia telah pulang, hanya saja dia terus menyangkal dan menginginkan kematian agar terbebas dari tanya. Mendadak matanya berkaca mendengar ucapan tulus kakaknya.

Dia menunduk, memungut asa yang dikiranya telah hilang dan menggenggam erat. Setelah yakin dia telah mendapatkan apa yang diinginkan selama ini, Rey memutar kepala. "Aku pulang, Kak. Maaf jika adikmu bandel dan suka keluyuran."

Ray tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Rey. "Selamat datang kembali, adik kecilku."

"Kak, minggirkan tanganmu! Kamu membuatku tak lagi mempesona." Rey menyingkirkan tangan Ray yang terus saja gemas mengacak-acak rambutnya.

Waktu beranjak sore dan matahari mulai terbenam. Ray keluar hendak mencari makan malam. Tentu saja dia melarang Rey turun ikut bersama.

Rey tak membantah dan memilih memperhatikan senja yang mulai tenggelam dari balkon hotel. Dia mengambil ponsel baru yang sudah dibelikan Ray dan membuka galeri. Melihat foto Eza yang dipotretnya dari balik kaca jendela rumah sakit saat berada di Jakarta "Kak, aku tahu kamu yang paling menderita di antara kita. Bagaimanapun kita hanya korban. Aku tak mau jika kamu harus memilih antara aku atau ayah. Jadi, maaf jika aku memutuskan pergi. Kumohon jaga Ayah untukku. Selamanya, aku menyayangi kalian."

🎉 Kamu telah selesai membaca Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi) 🎉
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang