Eza baru saja selesai rapat dan segera membuka ponsel yang sedari tadi bergetar. Begitu melihat nama yang tertera di layar, ia segera mengangkatnya.
"Apa yang terjadi?" Nada suara Eza begitu khawatir. Pikiran buruk berkelebat dalam benaknya.
"M-maaf, Bos."
"Jangan bilang kamu lengah!"
"Maaf. Saya-"
Eza langsung mematikan panggilan dan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan pikirannya kalut. Berulang kali ia memukul stir dan mengumpat. Merutuki kelalaiannya untuk kedua kali. Bagaimana bisa Ray kembali membawa adiknya pergi? Mengecoh orang suruhannya yang menjaga Rey secara diam-diam.
Begitu sampai di rumah sakit, ia bergegas menuju ruang perawatan dan hanya mendapati orang suruhannya yang menunduk ketakutan begitu beradu pandang.
"Jangan bilang kamu bersekongkol dengannya?" Eza sontak mendekat dan menarik kerah baju lelaki yang berusaha meyakinkan. Tentu ada begitu banyak spekulasi di benaknya mengingat siapa lawannya.
"Maaf, saya ketiduran, Bos." Lelaki itu beralasan. Tentu saja setelah seminggu yang melelahkan, ia sudah tidak bisa menahan kantuk yang mendera. Hanya satu jam dan sudah menjungkirbalikkan kehidupannya.
Mendengar jawaban yang baginya sangat memuakkan, ia langsung meninju wajah lelaki itu hingga terjatuh. "Aku membayarmu hanya untuk menjaganya dan kamu bilang ketiduran!" Eza murka dan tak terima.
"M-maaf, Bos. Saya kelelahan. Tadi ...." Lelaki itu sengaja tidak melanjutkan omongannya melihat gerakan tangan Eza yang berarti tak ingin mendengar lebih lanjut.
Eza memutar tubuh dan menutup wajah dengan tangan kirinya. Ia ingin berteriak atau menangis saat itu juga. Namun, ia berpura-pura tegar.
Lelaki itu mendekat dengan ketakutan dan menyodorkan kertas yang sudah ada di meja nakas begitu mengetahui tak ada adik bosnya di ruang perawatan.
Eza melihat kertas itu dengan perasaan remuk redam. "Bagaimana dengan biaya perawatannya?"
Eza cukup yakin Ray sudah membayar seluruh biaya. Dan memang benar. Hal yang sama kembali terulang. Ray membawa pergi adiknya kedua kalinya. Memperlihatkan betapa gagalnya ia sebagai seorang kakak.
Eza berjalan keluar rumah sakit dan menuju mobil. Ia meletakkan kertas itu di dashboard tanpa berniat membukanya. Lenyap sudah harapannya menebus dosa dan menepati janji pada ibunya. Justru ia kembali membuat kesalahan fatal. Kali ini, adiknya pergi membawa luka yang mungkin saja jauh lebih parah.
"Rey, maafkan Kakak." Eza meletakkan kepala di kemudi dan tanpa diminta, butiran air mata luruh dari matanya. "Ibu, aku gagal. Aku tak bisa menjadi jembatan yang baik antara Ayah dan Rey."
Cukup lama Eza terdiam, menyesali janji yang tak bisa ditepati. Adiknya kembali pergi dan mungkin tidak akan pernah percaya lagi. Walau sekarang ayahnya memang sakit, ia tak yakin hati Rey akan kembali tergerak setelah apa yang terjadi.
Eza mengambil kertas setelah suasana hatinya tenang dan membacanya.
Aku tahu, kamu berusaha memperbaiki kesalahan. Menjadi seorang kakak yang baik bagi Rey. Aku menghargai usahamu.
Namun, kamu tak akan bisa berada di tengah-tengah mereka. Asal kamu tahu, hati ayahmu adalah milikmu. Sedangkan hati Rey milik ayahmu. Mungkin kamu bisa membuat ayahmu menuruti dirimu, tetapi tidak untuk menyayangi Rey.
Aku sudah menduga sebelumnya. Cerita ini akan kembali terulang. Aku yakin sedari awal, Rey sudah tahu. Ayahmu tidak akan pernah berubah. Dan seperti kamu tahu, Rey harus menelan kecewa entah ke berapa kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
RandomRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...