Baru asyik sarapan sebuah panggilan mengganggu kekhusukan sarapan Rey juga teman-temannya.
"Sibuk sekali ponselmu. Dari tadi pagi bunyi terus. Benar-benar mengganggu," omel Jaka dengan mulut penuh nasi. "Cepat angkat atau matikan saja."
"Resiko cowok ganteng begini. Banyak fans garis keras."
Jaka sontak tersedak mendengarnya. Ia mengambil air putih dan meneguk hingga kerongkongannya terbebas dari nasi yang ingin sekali dimuntahkan di muka temannya satu itu. "Mulai lagi nyindirnya?" Jaka selalu merasa kesal dengan ucapan yang dilontarkan Rey. Bahan sindiran di antara mereka selalu saja berkutat di garis kegantengan atau isi dompet. Terkadang juga wanita yang membuat Jaka jengkel setengah mati karena nasibnya yang masih tak tersentuh kaum hawa alias jomlo. Belum lagi Arya yang tidak pernah berada di kubunya dan selalu membenarkan ucapan Rey, membuat dongkolnya semakin menumpuk.
"Kamu ini syirik terus sama Rey. Kayaknya semua salah di matamu, kecuali Rey traktirin kamu. Sudah macam cewek saja." Arya kembali membela, membuat Jaka menyendok sarapannya besar-besar dan memasukkan ke dalam mulut dengan kesal.
Rey tersenyum, geli melihat tingkah kedua temannya dan mengambil ponsel yang berada di saku celana. Melihat nama yang tertera di ponsel. Pak Iwan, atasannya. Ia mendesah dan meletakkan begitu saja di meja. Arya yang melihat langsung menyambar ponsel yang masih bergetar dan menunjukkan pada Jaka. "Tuh, anak kesayangan. Belum sampai kantor saja sudah ditelepon."
"Nasib jadi anak tiri." Sudut bibir Jaka terangkat.
"Makanya kamu ke salon kecantikan sana. Duitnya itu dipakai untuk memperbaiki wajah dan rejeki biar dapat pasangan. Jangan cuma ditimbun, yang ada dimakan rayap. Pak Iwan juga jadi senang melihatnya." Rey berkelakar yang disambut adu tos dengan Arya.
"Kalau perlu ke Korea, biar glowing dan menarik. Dijamin dapat cewek cantik." Arya menambahi membuat wajah Jaka semakin merah padam.
"Puas? Puas?" Jaka melotot setelah meletakkan sendok di piring.
"Puas banget," jawab Arya dan Rey bersamaan. Arya meletakkan tangan di pundak Rey dan menatap dengan penuh kemenangan.
"Udah puas ngebully, jangan lupa nanti bayari. Udah modal hati ini."
Arya dan Rey kembali cekikikan dan melanjutkan sarapan. "Kamu ini, gak modal sama sekali. Tampang pas-pasan, duit pelit. Pantes jomlo sampai kini." Arya kembali menyindir.
Jaka menggebrak meja. Arya dan Rey bukannya diam malah semakin mengeraskan tawa, melihat muka Jaka yang sudah seperti pantat wajan yang penuh angus.
"Sialan! Udah jadi anak tiri, bahan bully. Gusti, semoga ntar naik gaji. Aku mau sumpal kedua mulut temanku ini." Jaka berdoa seraya menengadahkan kedua tangan.
"Pret! Mbelgedes!" Rey dan Arya menjawab serempak lalu diikuti tawa renyah yang membuat Jaka menghela napas.
"Sialan kalian ini."
Warung tenda yang sempit itu benar-benar begitu meriah. Gelak tawa tak henti-henti terdengar hingga panggilan dari Pak Iwan kembali berdering.
"Tuh, anak kesayangan. Mau naik gaji. Ditelpon terus dari tadi." Arya memperlihatkan ponsel Rey di depan muka Jaka.
Kesal, Jaka menyingkirkan tangan Arya dengan gemas. "Iya, iya, yang mau dapat bonus. Aku yang berdoa, Rey terus yang dapat." Jaka beranjak keluar.
"Tenang, aku yang bayar." Rey berusaha menenangkan Jaka yang masih cemberut setelah kalah adu mulut.
"Memang harus begitu! Jengkel aku." Jaka keluar seraya mengomel.
Arya dan Rey memperhatikan raut wajah Jaka yang membuat mereka kembali terpingkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
CasualeRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...