"Kak, kata Simbok, Rey akan sekolah bareng Kakak. Jadi besok kita bisa berangkat bersama 'kan?" tanya Rey kecil saat makan malam. Tak ada ayah mereka, hanya kakak beradik yang menyantap hidangan dalam keheningan.
Eza diam, menghabiskan makan malamnya, dada tuna bakar dan sayur brokoli sambil sesekali melirik adiknya yang sengaja duduk di sampingnya.
"Kak, aku sudah tidak sabar berangkat bareng Kakak. Nanti kita bergandengan tangan, ya? Aku sering lihat temanku melakukan hal itu dengan Kakaknya."
Eza masih diam. Sebenarnya ia ingin mengajak Rey bicara atau bermain bersama, tetapi ayahnya melarang. Seorang pelayan pribadi juga selalu mengingatkannya agar tidak bersinggungan dengan Rey dan melaporkan pada ayahnya. Terkadang, ia disuruh makan di kamar dan mengikuti beberapa les yang membosankan.
Dari kejauhan, pelayannya Mbok anne mengamatinya. Dengan isyarat mata, mengatakan jangan membuka suara. Mau tak mau, Eza segera menghabiskan makan malam.
"Apa Kakak akan tidur cepat? Kalau begitu Rey juga akan tidur cepat. Aku sudah tidak sabar besok sekolah sama Kakak." Rey masih saja berceloteh dan begitu Eza pergi ke kamar. Ia mengucapkan selamat malam pada kakaknya yang menaiki tangga.
"Sampai ketemu besok, Kak."
Eza menaiki tangga dan berhenti di anak tangga terakhir, melihat Rey yang masih saja berceloteh dengan Simbok, pelayan pribadinya. Ia hanya melihat sekilas adiknya yang menurutnya sangat berisik juga norak dan kembali ke kamar saat pelayannya sudah mengingatkan untuk mengerjakan tugas sekolah. Eza menurut dan segera tidur selepas tugasnya selesai.
Eza baru saja menyantap sarapan, ketika Rey mendekat, mengambil sarapan dan duduk kembali di dekatnya. Adiknya sudah memakai seragam sekolah yang sama dengannya.
"Kakak, apa kamu bisa tidur semalam? Rey begitu gugup sampai tidak bisa tidur."
"Siapa suruh kamu duduk di sini?" Pak Atmaja menatap Rey dengan kesal. Ia tidak suka melihat anak lelakinya duduk dan membuat moodnya berantakan. "Mbok, suruh anak ini makan di belakang. Aku tak suka melihatnya, bikin kesal saja. Dasar beban!"
"Tapi Bapak, bagaimanapun Mas Rey--"
"Sudah, tidak apa-apa, Mbok." Rey beranjak berdiri begitu melihat pelayan pribadinya berusaha membela di hadapan ayahnya. Ia berjalan menuju kursi yang berada di dapur dan makan dalam diam.
Selesai sarapan, Pak Atmaja meminta Eza berangkat dengannya, meninggalkan Rey yang melihat dengan sorot kecewa akibat tak bisa berangkat bersama.
"Ayah, kenapa aku tidak boleh berbicara dengan Rey? Aku lihat dia anak baik. Simbok mengajarinya--"
"Tentu saja karena dia beban. Coba kamu pikir, jika tidak ada dia bukankah kita bahagia bersama Ibu? Ibu tidak akan meninggal. Dialah penyebab semua kekacauan."
Eza diam. Tak membenarkan juga tidak menyalahkan.
"Jangan pernah berbicara dengannya apalagi membicarakannya. Ayah tak suka." Pak Atmaja yang baru saja melihat beberapa berkas selama perjalanan memasukkan kembali ke tas.
"Tapi aku kasihan Ayah."
"Simpati itu sebuah kelemahan. Itu tak akan membuatmu menjadi besar, Za. Justru akan menghancurkanmu."
"Tapi bukankah dia Adikku? Kenapa Ayah tidak bisa bersikap baik padanya?" Eza terus saja mendebat.
Pandangan Pak Atmaja yang tadinya ke depan berganti ke arah Eza. "Karena Ayah tidak pernah mengharapkannya."
Eza diam. Pikirannya terus saja memikirkan ucapan ayah juga ibunya bersamaan. Janji untuk menyayangi adiknya terus meminta ditepati. Namun, ia tak punya keberanian. Takut ayahnya marah dan melakukan hal yang pernah dilakukan pada Rey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
RastgeleRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...