"Dari mana kamu?" tanya Pak Atmaja dengan kesal.
Rey tidak berprasangka apapun terhadap ayahnya, justru dia senang. Ayahnya berbicara padanya. Tentu dia menjawab dengan lugunya. "Main Ayah."
"Kamu tahu ini jam berapa, hah?"
Simbok segera memasang badan melihat gelagat majikannya. "Maaf, Bapak. Saya tadi ada perlu dengan tetangga. Mas Rey ikut."
Pak Atmaja tidak menghiraukan jawaban pembantunya dan memegang lengan Rey. Dia menarik anak lelakinya masuk ke rumah dan menuju kamar. Tentu saja Simbok mengiba maaf. Sayang kamar Rey sudah ditutup oleh majikannya.
"Apa yang kamu bicarakan di rumah sebelah, hah?" tanya Pak Atmaja setelah melempar tubuh kecil Rey ke ranjang.
"Rey tidak cerita apapun, Ayah."
"Bohong!" Pak Atmaja mengeluarkan ikat pinggang dan membiarkan terjuntai dalam genggamannya.
Rey menatap penuh ketakutan melihat ayahnya yang bersiap memberinya hukuman. "Tidak Ayah. Rey tidak berbohong! Sungguh!" Rey berjalan mundur ketika ayahnya mendekat dan dia sudah terpojok di sudut kamar. Dia menangkupkan kedua telapak tangan, mengiba maaf untuk hal yang tidak dilakukannya.
Pak Atmaja langsung menarik tubuh Rey kedua kali dan menyabet punggungnya dengan ikat pinggang. Dia meluapkan seluruh kemarahan selama di kantor pada Rey yang tidak tahu apa-apa. "Jangan bohong kamu!"
Rey menangis dan menjerit kesakitan saat ikat pinggang ayahnya melecuti tubuhnya. Dia memohon ampun hingga Pak Atmaja menyudahi amarahnya dan keluar setelah membanting pintu.
Melihat tuan kecilnya kesakitan, Simbok mendekat dan membantu Rey yang menangis menahan sakit di sekujur tubuh. "Ya, Allah Mas. Maafkan Simbok," ucap Simbok penuh penyesalan.
Sedang Rey tak tahu harus bagaimana, hanya air mata yang terus mengalir di pipinya dan mulut yang terus menggumam permintaan maaf.
Hampir tiga Minggu Rey tidak keluar rumah. Setelah peristiwa itu, dia mengalami demam. Pak Atmaja melarang membawa Rey ke rumah sakit dan hanya memperbolehkan perawatan di rumah. Tak ada yang membantah meski Simbok berusaha membujuk agar diperbolehkan dokter pribadi datang ke rumah. Namun, pada akhirnya, semua tunduk pada perintah Pak Atmaja setelah mendengar ancaman.
"Mas Rey baru pergi jalan-jalan." Simbok terpaksa berbohong saat Ray menanyakan alasan Rey yang tidak masuk sekolah.
"Jalan-jalan ke mana? Kapan kembalinya?" Tentu saja Ray curiga karena Rey tidak menceritakan padanya.
"Iya, jalan-jalannya juga mendadak. Saya juga tidak tahu kapan Mas Rey pulang."
Ray berusaha mempercayai ucapan wanita itu meski sebenarnya logikanya terus menyangkal. Bagaimana mungkin Rey pergi tanpa Simbok. Kemana perginya Rey? Padahal dia melihat Eza ke sekolah dan Pak Atmaja masih bekerja seperti biasa. Dia terus berpikir, apa sebenarnya yang tengah terjadi pada Rey? Apa mungkin Simbok membohonginya tentang keadaan Rey? Apa Rey sakit dan tidak ingin dijenguk?
"Tapi Rey baik-baik saja 'kan?" tanya Ray ingin memastikan.
Simbok berusaha tersenyum walau getir dan meyakinkan bahwa Rey dalam kondisi sehat. Dia tak bisa memberi tahu keadaan yang sebenarnya.
"Apa dia menikmati perjalanannya? Apa dia tidak ada telepon ke rumah?" Ray masih saja mencecar dengan berbagai pertanyaan. Dia ingin memancing Simbok agar membicarakan hal yang sebenarnya terjadi.
"Tentu saja. Mas Rey pasti sangat menikmatinya. Tadi baru saja telepon." Kebohongan demi kebohongan, terpaksa dilakukan dan kecurigaan Ray semakin menjadi-jadi. "Oh, ya, Mas Rey titip salam juga permintaan maaf buat Mas Ray." Simbok mengimbuhi sebelum meminta maaf karena harus melanjutkan pekerjaan dan menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
AcakRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...