di mana dirimu?

381 39 2
                                    

Rey mengerjap, melihat dirinya sudah berada di ruangan serba putih. Dia mengedarkan pandangan dan seseorang yang akrab datang menyapa. Kak Ray memanggil dengan wajah yang penuh kecemasan. Rey berusaha tersenyum dan raut kelegaan terpancar setelahnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Rey. Ia lupa mengapa bisa berakhir di ranjang rumah sakit.

"Seharusnya kakak yang tanya. Mengapa kamu bisa sampai di pulomas? Jangan bilang..."

"Kepalaku sakit kak. Bisa tunda dulu interogasinya?" potong Rey memegang kepalanya.

Ray menghela nafas dan mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Ada banyak pertanyaan di kepala namun sepertinya ia harus menunggu.

"Maaf, kakak cemas. Kamu bilang mau menjemput tapi hampir tiga jam kakak menunggu malah sebuah panggilan yang mengatakan kamu pingsan yang datang," sesal Ray mengurai kegelisahannya.

Rey menatap Ray dengan penuh penyesalan. Ia tak bermaksud membuat lelaki itu khawatir.

"Istirahatlah. Kakak sudah mengubah jadwal penerbangan kita," kata Ray tersenyum seraya mengusap pundak adiknya.

Rey terdiam, ingatannya berusaha merunut kejadian sebelum pingsan, tetapi yang diingat hanya rasa sakit di kepala ditambah panasnya Jakarta setelah keluar dari rumah Eza. Selebihnya mengabur.

Ray berusaha mengalihkan pikiran Rey. Dia tahu kondisi psikis adiknya yang tidak bisa terlalu stres. Namun, sebuah panggilan membuatnya harus keluar. Dari sekretaris yang dimintanya mengurusi jadwal juga penerbangannya.

Jam di dinding terasa begitu lama sedang mata Rey tak mau juga terpejam. Ray belum juga kembali. Entah pergi kemana. Berkali- kali Rey menghela napas. Bosan.

Rey bangkit dari tidur. Lagi-lagi sakit kepala menyerang. Dipegang kepalanya berharap rasa sakit berkurang nyatanya semakin menghebat. Dia mengerang kesakitan hingga kembali pingsan.

Tiga hari Rey tertahan di rumah sakit. Tak ada penjelasan dari Ray atau dokter mengenai sakit kepalanya. Entah karena gangguan psikosomatis atau efek kecelakaan yang pernah menimpanya. Rey pun tak memperdulikan.

Kesehatan Rey semakin membaik dokter sudah memperbolehkan pulang. Di depan ruang administrasi Ray tengah sibuk mengurus pembayaran sedang Rey menunggu dengan tatapan sayu di ruang perawatan. Berulang kali menghela napas. Bosan di kamar ia pergi begitu saja keluar ruangan.

Seseorang tersenyum tatkala ia membuka pintu kamar. "Akhirnya, setelah sekian lama bisa berjumpa lagi dengan Tuan Muda."

Rey menatap orang yang ada di depannya dengan dahi mengernyit. Otaknya berusaha mengingat di mana pernah bertemu dengan lelaki di depannya.

*********

Ray terus menekan nomor Rey. Sudah sepuluh kali ia melakukan panggilan tak kunjung ada jawaban. Berulang kali ia merutuki dirinya yang lalai menjaga. Berulang kali ia menanyakan kepada setiap orang yang melintas apakah melihat Rey sambil menunjukkan foto. Sayang, hanya gelengan kepala yang didapat.

Frustasi. Ia mulai bingung harus mencari ke mana. Pikirannya kalut, takut terjadi sesuatu dengan Rey.

Lelah, ia menyerah. Disandarkan punggung ke kursi yang berada di depan ruang perawatan.

"Kamu kemana lagi, Rey?" tanyanya seraya menatap langit-langit.

Ditutup wajahnya dengan satu tangan, rasa kantuk yang luar biasa menyerang. Beberapa hari yang menguras waktu tidur membuatnya terlelap begitu saja.

*******

"Kak, perutku sakit," kata Rey kecil sore itu sambil memegangi perutnya.

Ia meringis menahan sakit. Ray mendekat dengan membawa minyak kayu putih dan membaluri perut Rey.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang