"Kak, hari ini aku pinjam mobil, ya?" pinta Rey yang setiap akhir pekan berada di ruah Ray. Ia sudah bersiap dengan dandanan yang rapi juga wangi.
Tanpa menunggu jawaban ia mengambil kunci yang berada di meja kerja. Ray menatap penuh curiga apalagi mencium aroma parfum yang dipakai Rey memenuhi ruangan. Ray tersenyum geli melihat tingkah Rey hari ini. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan, mungkinkah Rey mulai membuka hati pada Naya. Apalagi mengingat hari ini Minggu. Sudah pasti, adiknya ingin pergi dengan seseorang yang spesial.
"Wangi bener. Mau kencan sama Naya? Apa kamu sudah mulai menyukainya?" tanya Ray menggoda.
Rey menjulurkan lidah dan Ray mengekor di belakang Rey yang berjalan keluar. "Punya kakak kepo ya gini jadinya. Sok tahu aja." Rey ngeloyor keluar rumah.
Begitu di luar, Ray menahan adiknya yang bersiap membuka pintu mobil. Ada semburat kecemasan dari raut wajahnya.
Rey menatap kakaknya menyadari apa yang tengah dipikirkan. "Tenang kak. Tak ada orang bunuh diri pakai parfum sebotol."
Ray terkekeh mendengar penjelasan Rey. Ia pun melepaskan tangannya meskipun raut tegang tak berkurang. "Ingat, ini mobil kantor. Kamu jangan buat masalah. Nanti kakak dipecat. Bisa-bisa kita jadi gelandangan," omel Ray. Ia hanya berpura-pura cemas dengan mobil. Namun, sesungguhnya ia lebih mencemaskan adiknya yang pernah bermasalah saat membawa mobil. Ia terus mengekor di belakang.
"Kamu belum lupa cara memakainya 'kan? Sudah empat tahun dan baru kali ini kamu menyetir lagi," tanya Ray. Meskipun ia berusaha tenang tapi ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
"Tenanglah, Kak. Tidak usah khawatir. Adikmu 'kan sales mobil masak gak bisa bawa mobi." Rey meyakinkan kakaknya.
Rey keluar dari mobil seraya menepuk pundak Ray lalu mengulurkan tangan di hadapan kakaknya.
"Apa?" Ray berpura-pura tidak tahu maksud adiknya.
"Uang bensin." Rey mengedipkan mata, menggoda kakaknya.
"Kenapa Kakak?" Ray berpura-pura marah.
"Uang kakak lho lebih banyak. Beda sama adiknya ini. Belum genap seminggu juga dompetnya udah masuk angin," kelakar Rey.
Ray menahan tawa seraya mengeluarkan dompetnya.
"Siapa suruh kemarin atm-nya dikembalikan. Kakak 'kan sudah bilang, bawa saja."
"Takutnya kalau Rey bawa bisa kalap."
Ray mengacak-acak rambut adiknya yang beranjak masuk ke mobil. "Gayamu!"
Rey menstarter mobil dan Ray masih saja menatap tak rela.
"Kakak ikut saja, ya" rengek Ray memelas. Terkadang, dia lupa bahwa tak ada hubungan darah di antara mereka dan dia memperlakukan terlalu berlebihan.
"Mengganggu acara anak muda. Om-Om minggir saja."
Mobil mulai berjalan, Ray tersenyum melihat wajah ceria Rey dan memperhatikan hingga menghilang di balik tikungan.
25 menit perjalanan dan Rey sudah sampai di depan panti. Anak-anak yang tengah bermain di halaman sontak saling bersitatap sebelum bersorak begitu melihat Rey turun. Tak ayal, mereka berlari menyambut dan Naya yang tengah berada di kamar segera tahu apa yang tengah terjadi.
"Tumben sekali bawa mobil sendiri?" tanya Naya. Dia duduk di kursi kayu yang berada di bawah pohon mangga.
"Aku ingat masih punya janji denganmu. Bagaimana kalau sekarang saja? Jalan-jalan ke pantai. Nongsa sepertinya bagus," usul Rey. Anak- anak yang tengah mengerubungi, bersorak senang dan mendesak Naya untuk mengiyakan permintaan Rey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
RastgeleRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...