Rumah, keluarga dan ikatan

463 31 0
                                    

Hari yang dinanti tiba, Rey pulang. Ray yang tidak bisa mendiamkan adiknya lama-lama, terpaksa mengalah. Mengizinkan kembali ke Jakarta dengan berbagai nasihat. Sangat kentara bahwa ia masih tak rela mengingat Rey melarangnya ikut apalagi turut campur masalahnya.

"Pulanglah, Kak! Setelah ini Kakak harus fokus kerja! Saat aku datang, uangku pasti sudah habis, jadi Kakak harus menghidupiku." Rey mencoba mengajak Ray bercanda. Sayang tak ada tanggapan. Kakaknya masih bungkam sebagai bentuk protes.

"Tidak usah marah! Aku cuma sebentar saja, kok!" Rey kembali meyakinkan.

Ray tak menggubris ucapan Rey dan terus berjalan menuju gate keberangkatan. "Pulanglah! Aku tak bisa menahanmu!" Ada gurat kekecewaan yang begitu kentara atau memang sengaja ditunjukkan oleh Ray. Bertahun-tahun mereka saling mengenal, Ray hampir tidak pernah menunjukkan kemarahan pada Rey. Ia selalu bisa memakluminya.

"Masuklah!" Sengaja Ray tak ingin banyak bercakap.

Rey menatap kakaknya dan menerima tas ransel yang sedari tadi dibawakan oleh Ray. "Terima kasih, Kak. Kamu memang yang paling memahamiku." Ia tersenyum sebelum masuk ke ruangan check in.

Begitu Rey menghilang dari pandangan, Ray merogoh saku dan memutar tubuh. Menjauh dari pintu.

"Penerbangan GA-197, penumpang atas nama Rey Dian Dwi Atmaja. Kamu harus mengikuti ke manapun dia pergi, jangan sampai kehilangan posisinya. Laporkan padaku secepatnya hasilnya. Aku akan turun Jakarta mendekati Ashar. Sebentar akan kukirim fotonya, a mengandalkanmu."

*****

Begitu turun di Jakarta, Rey mendadak linglung. Ia duduk di kursi yang berada di ruang tunggu lama, seolah tengah menyiapkan diri menghadapi kenyataan yang selama ini dihindarinya. Jujur, ia tak ingin memperlihatkan ketakutannya di hadapan Ray setelah mengatakan akan pulang. Atau mungkin belum siap secara mental. Ketakutan jauh lebih mendominasi pikirannya. Apa ia siap menghadapi kenyataan yang selalu tak sesuai dengan harapannya.

Begitu sudah mulai menguasai keadaan, Rey mencari taksi dan meminta sang sopir mengantarkannya ke hotel. Ia membutuhkan waktu yang ternyata tidak sebentar. Bayangan akan apa yang pernah didengar juga dirasakannya seakan menghisap jiwanya dalam kegelapan.

Setelah memesan kamar, Rey segera menenggak obatnya dan terlelap. Saat terbangun, begitu banyak pesan juga telepon dari Ray.

Aku sudah di rumah. Semua baik-baik saja.

Ia terpaksa berbohong dan berpura-pura tidak mau mengangkat telepon. Beralasan capek.

Hari-hari berlalu sama. Sudah hampir sepuluh hari Rey menginap. Uangnya juga sudah hampir tak tersisa. Walau ia masih menyimpan uang tabungan ibunya yang selama ini dikelola Ray. Tak ada keinginan menggunakannya. Ia merasa apa yang diberikan ibunya justru menjadi malapetaka baginya.

Ia juga harus memutar otak ketika Ray terus menelpon dan mencecar apa yang dilakukannya. Setiap hari. Tingkahnya seperti induk yang kehilangan anaknya. Dan Rey yang terbiasa berbohong, tidak begitu kesulitan meyakinkan Ray bahwa ia berada di rumah baru Eza dan tidak di rumah yang lama.

Rey keluar hotel selepas isya. Setelah makan malam, ia memutuskan pulang. Walau banyak ketakutan menyerangnya, ia cukup yakin bisa melaluinya.

Taksi mengantarkannya ke salah satu perumahan yang berada di Jakarta Barat. Bertahun-tahun terlewat dan bangunan berpilar dua di depan masih saja dingin saat menyambutnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya sedikit terkejut saat ia turun.

"Mas Rey ke mana saja?" Pak Handoyo yang belum pulang begitu semringah menyambut kedatangannya. Dengan isyarat mata, ia menyuruh pelayan yang lainnya memberi tahu Eza di lantai dua.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang