"Kak, kamu tak perlu melakukan ini!" kata Rey ketika mereka sudah duduk di pesawat.
Hari ini Rey bertolak ke Jakarta untuk meeting kantor. Ray yang tak memperdulikan peringatan Rey bersikukuh untuk ikut setelah perdebatan sengit antara keduanya.
"Anggap saja Kakak liburan. Masak setiap hari kerja. Kaya kagak, yang ada tipes." Ray berkelakar dan Rey tersenyum kecut.
"Tak usah merasa terbebani. Kakak hanya ingin bertemu dengan teman-teman. Sejenak melepas lelah." Ray terpaksa berbohong. Dia tak mungkin mengatakan betapa cemasnya ketika mendengar Rey akan ke Jakarta. Usahanya membujuk Iwan agar mengganti karyawan yang lain juga tak membuahkan hasil. Pihak pusat sudah memilih nama Rey dan temannya tak bisa berbuat banyak.
Jujur, dia gelisah jia mereka di Jakarta. Eza akan tahu dan menemui adiknya. Meminta pulang, walau dia cukup yakin Eza mungkin saja sudah melupakan Rey.
Rey diam seraya memperhatikan Ray yang memasang seat belt. Paham selama ini waktu yang Ray miliki telah ia renggut. Tak pernah lagi ia melihat pergi bersama dengan temannya. Hanya sesekali saja keluar dengan Pak Iwan, pimpinannya. Itu pun lebih bnyak dilakukan selama di kantor. Selebihnya lebih banyak dihabiskan di tempat kerja dan rumah. Mengurus pekerjaan juga dirinya. Benar-benar menggantikan peran orang tua baginya.
Dipandang kakak yang telah membersamainya selama ini dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Ia merasa bersalah telah mengambil kesenangan Ray dan menjadikan sandaran. Namun, sisi lain hati tak bisa memungkiri bahwa ia membutuhkannya. Sejak kecil, tak ada orang yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah, kecuali dirinya.
Rey mengalah, tak ingin melanjutkan perbincangan yang selalu menjadi perdebatan selama beberapa hari ke belakang. Ray tersenyum senang dan menepuk pundak adiknya.
Begitu pesawat terbang, Ray terlelap dengan mudahnya. Lelah. Dipandangi wajah kakaknya yang tengah tertidur. Perasaan sayang itu mencuat mengingat hampir setiap hari, lelaki itu menjadi ibu bagi Rey. Menyiapkan sarapan, mengingatkan hal-hal sepele, menjadi teman juga seorang kakak. Ia melakukannya sejak Rey berumur tujuh tahun. Tak pernah mengeluh sedikit pun padahal mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali.
Jujur ia malu di umurnya yang menginjak 23 masih merepotkan. Membebani Ray dengan permasalahan yang seharusnya diselesaikan sejak lama. Menyeret dalam pusaran permasalahan.
Rey menatap keluar jendela. Hanya hamparan putih yang terlihat oleh mata. Ia menghela napas seolah tengah mengeluarkan sesak yang menghimpit dada. Rasa enggan itu masih ada, tetapi tak kuasa melawan. Ini adalah kewajiban.
Tanpa disadari mereka telah mendarat di tanah kelahiran, Jakarta.
"Kakak antar sampai depan mess. Kamu gak usah protes!"
Lagi-lagi Rey tak bisa membantah. Dia menurut seperti seorang anak.
Perjalanan yang tak begitu jauh, tetapi suasana kota Jakarta yang macet menyita waktu. Setelah mampir makan siang, mereka pun sampai di mess yang berada di Pulo Kambing.
"Ingat kamu gak usah keluyuran. Biar Kakak yang datang buat bawain kamu makan malam. Jangan lupa sarapan, jangan sampai kamu melewatkannya." Dan banyak masih sekali nasihat yang diberikan Ray. Rey sebal sekaligus senang dengan semua perhatian yag tidak berubah sejak dulu.
"Gak usah bawel deh. Aku bukan lagi anak kecil. Sudah sana pergi reuni!" Rey mengusir dengan isyarat tangan. Tanpa memperdulikan Ray yang masih di depan mess, Rey beranjak masuk.
"Rey, Kakak cuma dekat sini. Jangan lupa hubungi kalau butuh sesuatu." Ucapan Ray menyiratkan keengganan melepaskan Rey masuk.
"Sudah bersenang-senang saja sana!" usir Rey kedua kali. Jujur dia merasa takut kembali ke kota yang pernah memberinya luka, tetapi dia tak ingin memperlihatkan pada Ray.
Ray masih tak beranjak pergi meski Rey telah hilang dari pandangan. Ia merasa tak bisa jauh dari adiknya itu. Supir taksi mengingatkan dengan membunyikan klakson barulah ia pergi.
Hari-hari berjalan sesuai yang diharapkan Rey. Meski itu berarti rutinitas empat hari hanya berkutat di antara mess dan hotel. Beruntung, setiap malam Ray selalu datang membawakan makan malam yang beragam. Sesekali bercerita dan berkelakar. Tak pernah sekalipun Rey diizinkan keluar dari mess.
Hari terakhir meeting ternyata berakhir cepat. Beberapa karyawan yang sudah balik ke mess berhamburan sekedar cuci mata. Tersisa Rey yang sendiri di kamar. Ia berencana untuk pergi ke hotel Ray tanpa memberitahu. Ternyata begitu sampai, Ray tengah pergi. Rey sempat bingung. Haruskah ia kembali atau mengganggu acara Ray.
Berulang kali ia melihat ponsel, berharap ada sebuah pesan dari Ray. Nihil. Berulang kali ia melihat kontak sebelum memutuskan untuk memanggil. Memastikan Ray tengah bersenang-senang dan ia akan kembali ke mess untuk tiduran.
Dipencet nomor Ray, tak ada jawaban. Sudah tiga kali panggilan dan masih sama membuatnya berpikir ulang. Diputuskan untuk sekali lagi memanggil. Tersambung.
"Kakak di mana?" Rey penasaran mengingat Ray selalu sigap dengan teleponnya.
"Kakak baru di luar, kenapa Rey?" tanya di seberang.
Rey menajamkan telinga untuk memastikan bahwa kakaknya tengah bersenang-senang, tetapi yang terdengar tidak seperti yang diharapkan.
"Kakak di rumah sakit? Apa kakak sakit?Di rumah sakit mana?" berondong Rey khawatir begitu mendengar suara-suara di belakang Ray.
Ray mengatakan bahwa ia baru bertemu dengan temannya di rumah sakit. Rey tak percaya begitu saja. Dia pikir mungkin saja Ray kelelahan akibat terlalu memikirkan dirinya.
"Aku ke sana biar kupastikan sendiri kalau Kakak tidak berbohong." Rey mematikan ponsel. Dengan tergesa ia turun dan memesan taksi menuju rumah sakit 'Antam medica'. Sesekali ia menyuruh supir taksi untuk mempercepat meski tahu bagaimana macetnya Jakarta.
Rey masuk rumah sakit dengan setengah berlari. Namun, langkahnya terhenti mendengar seseorang memanggilnya. Suara yang sudah empat tahun tidak pernah didengar. ia berusaha mengabaikan. Kenyataannya orang itu tidak menyerah.
Langkahnya mengikuti Rey dan tangannya berhasil menggapai pergelangan tangan.
"Rey, kaukah itu, Rey?" tanya lelaki itu dengan mata berkaca.
Rey menepis tangan dan berjalan menjauh. Tak kalah cepat lelaki itu sudah berada di hadapan dan memeluk penuh kerinduan. "Rey, kamu ke mana saja?"
Setelah puas, lelaki itu melepaskan pelukan dan menangkup pipi Rey, tak percaya dengan pemandangan yang ada di depannya.
Kini Rey saling berhadapan dengan lelaki itu. Menunduk tanpa ada keinginan untuk menatap. Sebelum ada aksara yang keluar dari mulut lelaki itu, Rey beranjak pergi. Namun, tangan kekar lelaki itu telah menangkap dengan cepat pergelangan tangannya.
"Rey!" panggilnya serak, membuat langkah Rey seketika tertahan. Ditepis tangan yang berusaha mencegah perjalanannya dengan kasar.
"Maaf, saya tidak kenal Anda." Rey mengatakan dengan wajah mengeras dan berlalu begitu saja.
"Apa kamu tidak mau menganggapku sebagai Kakak, Rey?" tanya lelaki itu mengudara tanpa mendapatkan jawaban. Rey bahkan tak menghiraukan dan terus melangkah.
Lelaki itu menatap dengan sorot kecewa. Hatinya terluka oleh sebuah penolakan yang baru saja ia dapatkan. Ia lupa, luka yang sama pernah dia torehkan pada orang yang baru saja dipanggil namanya.
Setengah berlari, lelaki itu kembali mencengkeram pergelangan tangan Rey.
"Kumohon, Rey. Kakak sudah mencarimu selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)
AcakRumah adalah tempat dimana namamu disebut dengan penuh kerinduan Rey meninggalkan rumah, lelah bertahan dengan segala pengabaian, hidup dengan orang yang mengakui kehadirannya. Hingga sang kakak mencari keberadaan, memintanya pulang dan menguak luka...