Bismillah...
Maya duduk di kantin sendirian sambil menopang dagu. Tatapannya lurus ke depan namun terlihat kosong. Sesekali gadis itu menghela napas lalu heboh sendiri saat potongan pembicaraannya dengan Milo kembali berputar di pikirannya.
"Lo pura-pura jadian aja sama Selatan." Begitu kata Milo kemarin sore membuat Maya melebarkan mata kaget.
"Sembarangan, hidup gue drama banget," katanya sambil menimpuk kepala abangnya itu dengan boneka donat yang ada di kamarnya.
Sebelum mengenai dirinya, Milo menangkap boneka itu dengan gesit, lalu menaruh boneka itu di atas kakinya.
"Ya, trus apa lagi? Satu-satunya hal yang bisa bikin Yohan mau jaga jarak kan kalau lo udah ada gebetan, atau kalau menurut gue, mending lo terus terang aja kalau lo suka sama dia, trus—"
"Lo kira nyatain perasaan segampang itu apa? Hubungan lo sama kakak yang itu aja gak maju-maju gara-gara lo gak mau ngungkapin duluan," potong Maya agak ngegas membuat Milo nyengir.
"Ya siapa tau lo lebih pemberani dari gue," ucap Milo santai. Maya mendengus.
"Gak usah pakai ide itu, lagian Selatan juga mana mau pura-pura jadian sama gue," kata Maya sambil melipat tangan di depan dada.
Milo mengangkat bahu, "Who know? Selatan itu simple kok, asal lo kasih makan, dia mau-mau aja," ucapnya santai. Maya tercengang.
"Masa sih?"
Milo berdehem lalu mengambil hape dari dalam saku. Tak lama terdengar deringan panggilan untuk Selatan membuat Maya jadi agak berdebar-debar. Bukan berdebar-debar karena gadis itu berharap Selatan menerima ide gila abangnya, tapi memikirkan akan semalu apa ia nanti kalau Selatan menolak ide itu.
Bagaimanapun, kalau Selatan nolak, kan Maya malu juga. Kesannya seperti Selatan benar-benar tidak menyukai Maya.
Tak lama panggilan itu diangkat. Bukannya mengucapkan salam atau "halo?" Selatan malah menjawab singkat dengan, "Ha?"
Maya mengerjap. Agak kaget karena gaya mengangkat telfon Selatan ternyata mirip dengan dirinya.
"Lagi dimana?" tanya Milo, tak lupa menspeaker panggilan itu.
"Lagi di rumah, kenapa?" tanya Selatan balik.
Milo melirik sebentar ke arah Maya, lalu berucap, "Lo mau bantuin adek gue gak?"
Maya mengela napas lega. Setidaknya Milo tak langsung to the point menjelaskan rencana mereka pada Selatan.
Selatan diam sejenak, "Emang Maya kenapa?" tanya pemuda itu namun konsisten dengan nada datarnya seperti biasa.
"Nah, jadi—"
Milo lalu menjelaskan secara detail permasalahan antara Maya dengan Yohan. Tentang perasaan gadis itu yang bertepuk sebelah tangan. Tentang Yohan yang tak pernah peka. Abangnya itu menjelaskan terlalu detail sampai-sampai membuat Maya malu dan gemas ingin menimpuk Milo dengan boneka yang lain. Namun untungnya reaksi Selatan sangat datar, seolah yang dibicarakan Milo bukanlah hal yang memalukan.
"Jadi lo mau gak pura-pura jadi pacarnya Maya, gak lama kok, cuma sampai Yohan jadian sama kakak kelasnya, dan kalau lo mau, lo bisa makan seblak sepuasnya."
Awalnya Maya mendengarkan kalimat terakhir Milo itu dengan wajah normal. Namun setelah memahaminya lebih jauh, mata gadis itu melebar seketika.
"Lah? Lah? Kok tiba-tiba bahas seblak sih? Gue gak-"
"Oke, deal."
Maya melongo. Hah?
Milo tersenyum lebar, "Oke, deal ya," katanya. "Senang berbisnis dengan anda."
"Oke," ucap Selatan.
"May? Woi! Kok bengong?"
Maya terlonjak, kaget melihat Yohan yang tiba-tiba sudah duduk di depannya, membuat pikiran Maya tentang kejadian kemarin langsung buyar.
"Sorry gue lama, tadi dipanggil Bu Diah, jadi ada apa nih?" tanya Yohan.
Maya mengulum bawah bibir, tak langsung menjawab, ia malah mengambil sesuatu dari atas kursi. Tak lama sebuah kotak makan berwarna pink terhidang di atas meja membuat wajah Yohan berbinar.
"Pertama-tama, gue mau ngasih ini dulu, karena gue udah janji bikinin lo kue," kata Maya membuka pembicaraan.
Mendengar nada serius Maya, perlahan ekspresi wajah Yohan berubah. Perasaannya mendadak tak enak. Yohan yang awalnya hendak langsung memakan kue red velved buatan Maya menjadi tak berselera.
"Ada apa?" katanya.
Maya menghela napas, "Gue ... gue kayaknya harus jaga jarak sama lo," ucapnya perlahan.
"Kenapa?" tanya Yohan lelah. "Apa penjelasan gue kemarin masih kurang untuk membuat lo bertahan?" lanjutnya.
Maya menggigit bagian bawah bibir. Ingin sekali rasanya menjawab, justru karena alasan yang diberikan Yohan kemarin lah ia jadi patah hati dan harus berpura-pura bohong sekarang. Tapi kalau ia jujur, usaha Milo dan pertolongan Selatan tentu akan menjadi sia-sia.
Maya mengangkat wajah, namun tak berani menatap Yohan yang menatapnya dalam.
"Gue bukannya gak mau bertahan Yo, gue cuma gak mau di antara kita nanti ada salah paham, soalnya ... gue sama Selatan, sebenarnya pacaran ..."
Maya benar-benar merasa berdosa saat mengatakan kalimat itu. Jujur, meski Maya tidak seshalehah anak rohis yang ada di kelasnya. Namun gadis itu sangat jarang berbohong. Maya bahkan selalu mengerjakan ujiannya sendiri dan tidak pernah mencontek. Tidak peduli seberapa jelek apapun nilainya, Maya lebih menyukai itu daripada nilai yang tinggi tapi bukan hasil kerjanya sendiri.
"Sejak kapan?"
"Sa ... satu Minggu yang lalu," ucap Maya tergagap, agak kaget karena Yohan menanyakan pertanyaan yang belum ia siapakan jawabannya.
Sebelah alis Yohan terangkat, "Lo udah seminggu pacaran dan lo baru ngasih tau gue sekarang?" katanya.
Maya mengangguk, "Maaf," lirihnya.
Yohan diam agak lama, lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Pemuda itu lalu menopang dagu sambil menatap Maya.
"Ya udahlah, mau gimana lagi kan, gue cuma bisa berharap hubungan lo sama Selatan baik-baik aja kedepannya, ehm .. tapi walaupun lo udah punya pacar gue masih boleh cerita sama lo kan, May?" kata Yohan membuat Maya yang awalnya menarik nafas lega karena akan berjauhan dengan pemuda itu jadi merasa bingung.
"Maksud lo?" kata Maya.
Yohan mendesah pelan, "Jujur, gue tuh sefrekuensi banget sama lo May, bahkan gue lebih satu frekuensi ngobrol sama lo dibanding kak Aviana, jadi kalau lo udah gak bisa dihubungin lagi cuma karena udah punya pacar, gue pasti bakalan sedih banget, jadi meskipun lo udah punya pacar, gue harap gue masih bisa kontak elo May, tapi gue janji gak bakalan sesering dulu," jelasnya panjang lebar.
Maya tidak tau harus berkata apa kali ini. Ia menatap Yohan tak mengerti seolah pemuda itu adalah alien dari luar angkasa. Rencana Maya sudah berjalan dengan baik, tapi kenapa hasil akhirnya malah berbanding terbalik begini?
nb : hai :) inti ceritanya sebenarnya sebentar lagi, tapi kayaknya nulis cerita ini bakalan makan waktu karena author lagi masa sibuk-sibuknya :') jadi maaf ya kalau kamu nunggu dan updatenya lama ... dan terimakasih sudah menunggu :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya Semua Perempuan Itu Cantik [SELESAI]
Teen Fiction"Kalau memang begitu, kenapa semua perempuan berlomba untuk memenuhi standar kecantikan?" * Present: Kimora Amaya Kusuma🌧️ Yohan Rahmat Wijaya☀️ Selatan Khatulistiwa⚡ P.s : Cerita ini hanyalah cerita Fiksi. Bukan benar-benar terjadi di kehidupan...