[18] Wawancara Mertua

210 49 26
                                    

Bismillah...

Maya duduk sambil menegakkan punggung. Beberapa kali melemparkan senyum kaku saat merasakan tatapan tajam dari Ummi yang duduk di depannya sambil melipat tangan. Selatan sendiri duduk tak jauh dari Maya, namun seolah tak paham suasana pemuda itu malah asyik menghabiskan seblak yang dibawakan oleh gadis itu membuat Maya mengomel dalam hati karena Selatan benar-benar tidak peduli dengan sekitar saat sudah bersama seblak.

"Jadi, kamu yang namanya Maya?"

Maya langsung mengangguk bahagia setelah Ummi akhirnya buka suara, Maya merasa lebih baik ditanya-tanya saja daripada ditatap dengan aura mengintimadasi membuat gadis itu merasa serba salah.

"Iya tante, aku Maya, kenal sama Selatan karena ketemu di panti asuhan," kata Maya menjelaskan lebih jauh. Ummi mengangguk-angguk paham.

"Sekolah dimana?" tanyanya lagi.

"SBP tante, SMA Budi Pekerti," jawab Maya lugas.

Ummi Selatan mengangkat alis, ekspresinya menandakan sedikit keterkesenan, "Ooh, sekolah unggulan?" kata Ummi. Maya tersenyum kikuk.
Ia sudah sering mendapat reaksi seperti ini jika ada yang menanyakan asal sekolahnya, namuh bukannya merasa senang Maya malah merasa terbebani dengan reaksi itu.

"Biasa aja sih tante, mungkin yang unggulnya kelas A, kalau aku cuma di kelas reguler," kata Maya canggung.

Ummi Selatan mendengus tak senang, "Gak boleh gak percaya diri begitu, kamu diterima di sekolah itu seharusnya merasa bangga dong, Selatan aja dulu Ummi daftarin kesana gak mampu dia," jelas Ummi membuat Selatan yang sedang menunduk langsung mendongak dan merengut tak senang.

"Ya Ummi lagian, udah tau Selatan gak suka IPA, malah dipaksa masuk jurusan itu, Selatan bukan gak mampu, tapi gak mau," kata Selatan ikut memberikan penjelasan.

"Lah Selatan gak mau karena gak mampu toh?" kata Ummi tetap bersikeras dengan pendapatnya.

"Enggak, Selatan gak mau karena IPA bukan passion Selatan, buktinya di sekolah yang sekarang Selatan juara tuh," jelas Selatan tak mau kalah.

Kali ini Ummi tidak membantah, ia lebih tertarik mewawancarai Maya daripada beradu pendapat dengan anaknya sendiri.

Ummi kembali mengalihkan tatapannya pada Maya, sekarang tatapan tajamnya sedikit meredup. Apa sekolah di sekolah unggulan memiliki efek di depan orangtua teman? Entahlah, Maya tidak terlalu yakin, tapi sepertinya sedikit ada angin segar setelah Maya menyebutkan ia sekolah dimana.

"Kamu di SMA jurusan apa?" tanya Ummi.

"IPA tante," jawab Maya.

"Apa pelajaran yang paling kamu sukai?" tanya Ummi lagi. Maya diam sejenak.

"Sejarah tante," jawab Maya diluar dugaan.

"Kenapa bisa? Bukannya kamu jurusan IPA?" tanya Ummi heran. Maya menggaruk kepala ikut bingung.

"Sejarah itu mata pelajaran peminatan tante, jadi Maya tetap belajar," jelasnya. Ummi membulatkan mulut tanda mengerti.

"Orangtua kamu kerja apa?"

Maya menelan ludah, entah perasaanya saja atau memang begitu, sekarang dibanding wawancara teman anak, Maya lebih merasa diwawancara oleh calon mertua.

"Papa aku pilot tante, kalau Mama bekerja sebagai ibu rumah tangga," jelas Maya membuat Ummi tersenyum kecil.

"Mama kamu sempat kerja?" tanya Ummi lagi. Maya mengangguk.

"Iya tante, Mama aku sempat kerja kantoran, tapi memutuskan untuk berhenti kerja setelah abang aku lahir,'" kata Maya. Selatan yang baru mengetahui fakta itu jadi mengangguk-angguk sambil mengelap bibirnya dari kuah seblak, sedangkan Ummi malah makin tersenyum mendengar itu.

Katanya Semua Perempuan Itu Cantik [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang