Hari ini bisa dibilang hari kemerdekaan bagi Gemi. Setidaknya untuk hari ini atau dua hari ke depan, tangannya yang melepuh bisa menjadi alibi untuk istirahat dari romusanya. Kelima jarinya melepuh akibat dicelupkan ke minyak panas pagi tadi. Sakit memang, tapi berguna juga untuknya.
Saat ini Gemi sedang santai di kamarnya. Menonton drama genre thriller sambil seruput kopi luwak hangat dan sepiring gorengan.
"Wah ... penjahatnya sadis temenan (banget), tapi gangteng e ra kaprah (gantengnya kebangetan)." komentar Gemi saat melihat adegan sadis dari drama yang ditontonnya.
"Min, Minten!" terdengar panggilan dari ruang tamu dibarengi langkah kaki mendekati kamar Gemi.
"Mintan-minten! Jenengku (namaku) Ge-min-tang! Sembarangan kalo manggil!" Gemi menyauti dengan kesal sambil menyetop tontonannya.
Tak berselang kemudian muncul pemilik suara yang membuat tensi darah Gemi melonjak. Dia Nakula Soerjoprasojo, kakak keempat yang selisih dua tahun darinya.
"Mending tak panggil Minten, tho, ketimbang tak panggil Tang. Tang ... batang (bangkai) tikus." balasan Nakula lebih sadis daripada adegan yang disaksikan Gemi.
"Kamfret! Kenapa manggil-manggil? Aku lagi cuti, jadi gak bisa diganggu!" Gemi mencoba menahan amarahnya dan menanyakan maksud pemanggilan kakaknya tersebut.
"Gayamu cuta-cuti! Pengangguran ae kemethak men (sombong amat) cuta-cuti barang (segala)!" hardik Nakula.
"Halah, rausah (gak usah) ceriwis! Hus, hus, ngaleh kono (pergi sana)! Aku mau kencan sama pacarku." usir Gemi.
"Cuih, wajah plastik ae (aja) disenengi, hoalah Ten ... Juminten!" olok Nakula yang jijik melihat kecintaan adiknya pada pria-pria asal negeri ginseng.
"Berisikkkk!!!! Dang ngalih o kono (buruan pindah sana), lhooo...!" murka Juminten, eh, Gemi maksudnya.
Melihat amukan adiknya Nakula justru terpingka-pingkal dibuatnya. Derita sang adik adalah hiburan baginya.
"Gem, Kula, Bapak lagi dzikir, iso meneng pora (bisa diem gak)?" terdengar peringatan Halimah dari ruang salat.
Nakula menyetop tawanya, sementara Gemi menahan amukannya demi kekhusyukan ibadah bapaknya.
"Tak kasih kerjaan, mau, gak?" setelah puas memancing keributan pada adiknya, Nakula baru memaksudkan tujuannya.
"Mboh (au ah)!" Gemi merajuk, ia melengos ke arah lain.
"Ada ceperannya, gak mau, nih?" iming-iming Nakula sukses membuat mata Gemi langsung ijo.
Gemi spontan menghadapkan wajahnya ke Nakula. Iming-iming itu terdengar menjanjikan. Pasalnya, tanpa upah dari disuruh-suruh Gemi tidak punya penghasilan sama sekali. Itu artinya, ia tidak bisa jajan pentolnya Bang Bro yang sering keliling di daerahnya.
"Kerjaan apa? Aku gak bisa kalo yang susah-susah, nih, lihat tanganku!" Gemi menunjukkan tangannya yang melepuh.
Nakula menahan semburat tawa. Sejak dikabari Halimah siang tadi, ia tidak kuasa berhenti tertawa mendengarnya. Bahkan saat tadi melihatnya langsung, perutnya sampai kram lantaran kebanyakan tertawa.
"Gampang, kok. Tarikin uangku di ATM, Aku lagi butuh uang tunai. Sekalian sama isiin bensin motorku, ya. Yang pertamaks." titah Nakula menyebutkan suruhannya.
"Tanganku gak bisa megang stir yang kanan, nggak lihat apa?" balas Gemi lagi-lagi memamerkan jari-jarinya yang melepuh.
"Bawa jerigen, tho, mbak yu! Ngisinya di pertamini langgananku aja, miring harganya." tutur Nakula.
Gemi mengangguk, "Yowes, mana ATM sama duit buat beli bensin?" ia menodongkan tangannya.
Nakula mengeluarkan ATM dari dompetnya seraya menghampiri Gemi yang mager di kasur.
"Nyoh (nih), duet e (duitnya). Mampir sekalian beli jajanan apa gitu di warung buat nonton bola. Pakek uang ini aja, jangan pakek yang dari ATM." pesan Nakula makin tambah suruhannya.
"Ongkosnya nambah, lho, Mas. Kan, perintahnya juga nambah." Gemi menyeringai culas, memanfaatkan kesempatan yang ada.
"Ya, sana Kamu mau beli jajan apa, silahkan. Itu bonusnya. Asal jangan kinderriang, silperquin, ato jajan-jajan yang mehong lainnya." imbuh Nakula sedang dalam mode dermawan.
"Wokkey, siap, ndoro!" Gemi langsung berdiri siap sedia.
Setelah memberi perintah, Nakula pun angkat kaki dari kamar adiknya.
...
Sepeda yang dikayuh Gemi sampai di depan kantor cabang sebuah bank milik BUMN. Dari depan saja sudah terliat antrean yang cukup panjang di depan bilik ATMnya. Maklum saja, sekarang sedang tanggal muda. Orang-orang yang bekerja masanya memanen pundi-pundi rupiah setelah sebulan peras keringat.
Melihat antrean itu, Gemi jadi rindu masa-masa saat ia masih terima gaji. Melihat saldo di rekeningnya bertambah setiap bulan adalah kenangan terindah dalam hidupnya selama penjajahan ini.
"Orang ngambil uang di mana-mana, tapi di mana-mana Aku, kok, gak ngambil uang, yo? Kapan penjajahan ini usai, Ya Gusti? Soro ne uripku (menderitanya hidupku)." gumam Gemi seraya memarkirkan sepedanya.
Gemi memasukkan kedua tangannya ke saku depan jaket milik Nakula yang didonasikan padanya, sembari ia memasuki barisan para pengantre.
"Masnya mau ngambil juga?" seorang wanita di depan Gemi menanyai seorang pria berjaket tudung hitam yang berada di luar barisan.
"Mbaknya dulu aja, gapapa." balas si pria jaket tudung.
"Enggak, Mas. Kan, Kamu duluan yang datang." si wanita menolaknya halus.
"Mbaknya aja."
"Kamu dulu, Mas."
"Lady first, Mbak."
"Tapi, Kamu yang antre duluan."
Gemi bolak-balik melihat ke si pria dan si wanita, sampai ia jengah dibuatnya.
"Wes, minggir-minggir! Kalo mau main sinetron, sana ke SDTV atau RDTI! Wong pada ditungguin malah kamu-kamuan segala. Peka, dong, yang laen pada capek nungguin kalian eyel-eyelan!" cerocos Gemi sudah tak tahan lagi melihat adegan mendrama di hadapannya.
Mending lihat drama Korea daripada mereka berdua, batin Gemi.
"Sabar, dong, Buk! Antre dulu." sergah si pria.
"Sobar-sabar! Saya sudah antre dari tadi dan orang-orang di belakang Saya ini sudah jenuh nunggu kalian berdua. Betul, kan, saodara-saodara?" Gemi meminta suara dari para pengantre di belakangnya.
"Betulll..." saut mereka bergemuruh, sudah seperti para pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan dari belenggu penjajah.
"Kalo masih mau lanjut main sinetron, sudah, mundur saja dari barisan! Yang punya kepentingan di ATM bukan kalian berdua saja. Betul, kan, dulur-dulur?"
"Betulll..." mereka lagi-lagi kompak menyauti.
Merasa mati kutu, kedua insan itu pun segera memutuskan siapa yang duluan. Sesuai urutan kedatangan, si pria akhirnya masuk dulu ke bilik ATM.
Gemi kembali ke barisannya sambil tersenyum puas. Meski tidak bergaji, setidaknya Gemi masih punya nyali untuk melantangkan suaranya melawan bentuk ketidakadilan. Andai saja nyalinya itu ia pakai di tempat mantan bosnya, mungkin hari ini nasibnya lain lagi. Sayang, harga diri lebih dijunjung tinggi ketimbang nyali bagi Gemi.
"Mak-emak, bawel!" gerutu si pria tadi disengaja saat melenggang di dekat Gemi.
Demi upilnya Mo Tae Gu, Gemi berhasrat detik itu juga ingin menghantam kepala si pria tadi pakai senjata bola besi yang sudah memakan banyak korban. Namun, hasrat itu segera diredamnya mengingat ia masih banyak menimbun dosa. Gemi anak baik, kata Halimah sebelum Gemi berhenti bekerja. Gemi percaya, orang sabar disayang pacar. Eh, lupa! Gemi masih sendirian, alias jomblo.
Wedhus, Kamu, thor!
😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...