Melepuh di tangan Gemi rupanya tidak bertahan lama. Sehari pascakejadian, tangannya sudah seperti semula. Tidak sampai bengkak atau bahkan pecah bernanah. Gemi agak merutuki kesembuhannya itu.
"Buk, Aku nanti mau ke rumahnya Lisa." pamitnya lebih awal.
"Yo (ya), kono (sana)! Penting sebelum dzuhur sudah pulang." Halimah mengamini pamitnya sang anak. "Eh, sing (yang) bersih, tho, bilas gelasnya! Nanti bau pas dipakai minum wedang." tegur Halimah mendapati masih ada sedikit busa di ujung gelas yang dicuci Gemi.
"Injeh (asyiap), Nyonya mandor..." balas Gemi sambil cemberut. Nyonya mandornya yang satu ini teliti sekali. Busa setitik saja tak lepas dari pengamatannya.
"Buk, sebenarnya keluarga kita itu bukan seperti ini, tho?" celetuk Gemi di tengah kegiatannya.
"Bukan apanya?" Halimah menyautinya judes.
"Maksud Aku itu, keluarga kita ini sebenarnya gak bener-bener sesulit ini, kan, Buk? Bapak itu sebenarnya punya investasi di mana-mana, cuman pura-pura susah aja, ya, tho?"
Seketika itu juga Gemi mendapat dampratan dari Halimah.
"Ya Allah, Buk, sakit!" Gemi merintih habis didamprat.
"Wes awan (dah siang), ndang tangi (buruan bangun)! Wong kok (orang kok), yo (ya), eneng-eneng wae (ada-ada aja)." semprot Halimah geleng kepala punya anak perempuan satu-satunya tapi kelakuannya bikin ngelus dada.
"Bapakmu itu dari awal nikahi Ibuk, sampai sekarang kerjaannya, ya, tani. Nanam padi, jagung, sama kacang hijau di sawah warisannya Mbahmu. Gak usah ngimpi punya investasi-investasinan segala!" perpanjang Halimah.
"Yea, kan, siapa tau aja kayak yang di film-film itu. Kalo beneran, kan, alhamdulillah banget. Aku gak usah jadi budaknya Ibuk lagi. Kan, bisa memperkerjakan pembantu." Gemi berceloteh.
"Makanya kalo gak mau disuruh-suruh lagi, cepet cari kerjaan. Kerja apa aja yang penting halal, krasan (betah), Ibuk gak bakal nyuruh-nyuruh Kamu lagi. Paling cuman minta tolong aja. Atau sana nyoba berwira usaha, minta ajarin Pakde Mun. Dia, kan, sudah melanglang buana di dunia bisnis." Halimah memberi nasihat untuk putri semata wayangnya.
Sekedar info, Pakde Mun adalah kakak Halimah yang sukses menjalankan bisnis keripik singkong sampai ekspor ke luar negeri.
Gemi manggut-manggut mendengarkan nasihat Halimah sambil tangannya mencuci tumpukan perkakas kotor.
...
"Beneran pekerjaan ini mau Kamu ambil, Gem? Ndak (nggak) sayang tho sama ijazahmu, sama titelmu juga?" Lisa lagi-lagi meragukan keputusan yang akan diambil Gemi.
"Ho'oh, yakin 100% Aku, Lis! Titel atau apa pun itu, masa bodoh dulu untuk saat ini. Aku mau cepet-cepet merdeka, Lis." Gemi menyakinkan sahabatnya itu.
Lisa mengangguk, dia bisa apa jika Gemi sudah bulat memutuskannya. "Yowes (yaudah), kalo itu keputusanmu. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakanmu saja, Gem." ujar Lisa memberi petuah.
"Walah ... walah ... omonganmu wes koyo mbokku (omonganmu udah kek emakku), Lis. Hahahaha..." Gemi tergelak mendengar tuturan sahabatnya tersebut.
"Maklum, udah jadi ibuk, jadi lebih dewasa." balas Lisa malah besar kepala.
"Gayamu, Lis!" cemooh Gemi. "Udah jam 11 ki, Aku pamit dulu, yo. Jendral Laksamana Halimah Maedo (nyinyir) nanti goleki (nyariin)." pamit Gemi sambil buru-buru berdiri.
"Hahaha ... iyo, iyo, ati-ati!" Lisa terbahak mendengar penyebutan Gemi tersebut.
"Langsatnya tak bawak, yo." sebelum beranjak Gemi sempat-sempatnya meraih bungkusan buah langsat yang tinggal seperempat di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...