28

669 83 0
                                    

Gemi kembali sesenggukan dalam pelukan erat Halimah. Ia baru mengadukan kejadian siang kemarin dan menceritakan semuanya sambil menangis. Halimah yang akan menyiapkan sarapan untuk para buruh tanam harus menundanya sejenak.

"Wes (dah), wes (dah), uwes leh nangis (udah nangisnya). Ibuk akan coba ajak bicara Masmu. Kamu tidur dulu, nanti jam 5 Ibuk bangunin." Halimah melerai pelukan mereka, kemudian mengelap wajah sang anak memakai ujung bajunya. Ia mengarahkan Gemi untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Gemi tidak membantah, ia menurut saja karena memang benar masih sangat mengantuk. Sedangkan Halimah kemudian beranjak dari kamar anaknya.

"Assalamualaikum..." sapaan lirih menyambut Halimah di luar kamar Gemi.

"Waalaikumsalam ... Kamu gak berangkat dari kosannya Adi?" Halimah menerima salaman sang anak.

Nakula menggeleng, "Aku gak bawa pakaian ganti." jawabnya seraya akan ke kamarnya.

"Nanti malam Ibuk mau bicara, bisa luangkan waktumu?" Halimah mengutarakan maksudnya selagi sempat.

"Kalo gak ada barang datang." Nakula menyautinya sembari berjalan ke kamar.

Halimah cukup mengangguk, ia bergegas menyiapkan sarapan untuk para buruh tandur yang menggarap sawahnya.

Tepat pukul lima pagi sesuai janjinya, Halimah membangunkan Gemi. Anak perempuannya itu tampak lemah dan masih mengalami muntah saat ke kamar mandi.

"Gemi kenapa, Buk?" tanya Suryo yang baru pulang dari sawah. Musim tanam begini, petani seperti Suryo harus berjaga semalaman untuk memastikan air mengairi lahan sawah yang akan ditanami.

"Gastritisnya kumat lagi." terang Halimah seraya meminta pekakas yang dibawa Suryo ke sawah.

"Lha, habis makan apa kok kumat lagi?" Suryo sempatkan menanyai kondisi anak perempuan satu-satunya itu.

"Seblak sama bakso mercon, Pak." jawab Halimah sembari mencuci pekakas.

Suryo geleng-geleng, anaknya itu menanam petakanya sendiri. "Nanti biar tak anter e ke puskesmas, Buk." inisiatif Suryo.

Halimah mengangguk dan mengiyakan. Berselang kemudian Gemi keluar kamar mandi sambil merambat dinding. Melihat itu, Suryo langsung bangkit membantu sang anak ke kamarnya.

...

Jagat gelisah tak menentu sejak pagi. Pesannya kepada Gemi belum kunjung dapat balasan. Pikirannya berkecamuk, memikirkan hal tidak baik tentang Gemi. Mengingat, Gemi tidak baik-baik saja kemarin. Matanya masih menyorotkan kesedihan saat terakhir mereka bersama.

"Gat, ayo, main bola!" ajak Amar begitu bel istirahat terdengar nyaring ke seluruh sudut sekolah.

Jagat membuyarkan angannya, ia baru akan menolak halus ajakan sahabatnya tersebut. Namun, kedatangan penggemar garis kerasnya menggagalkan upayanya. Jagat tidak punya pilihan, ia pun menuruti ajakan Amar.

"Enak, ya, punya penggemar. Ada yang nyemangatin, ada yang ngelu-ngelukan, dan ada yang mencintai tanpa minta balasan." Amar berceloteh sambil berjalan beriringan menuju lapangan depan sekolah.

Mereka seperti pemain timnas yang akan bertanding di kejuaraan internasional. Di belakang mereka para penggemar Jagat mengikuti mereka sambil mengelu-elukan nama Jagat.

"Kamu kok baperan gitu, tho, Am? Cintamu ditolak, tho, sama Nila?" Bima menyambarnya.

Jagat spontan menoleh ke Amar di sisi kirinya. "Kamu nyukain cewek galak itu, Am?" ia terkejut.

Amar mendesis dan melototi Bima di samping kanan Jagat. "Dasar mulut ember!" hardiknya.

"Berarti beneran, Am? Kamu kok gak cerita ke Aku, tho? Jahat Kamu, Am." cicit Jagat agak kesal tidak mengetahui hal semacam itu, padahal ia adalah teman sebangku Amar sejak awal SMA.

"Kamu, sih, Gat, sibuk pacaran terus. Mana tau Kamu, gimana luluh lantaknya perasaan temen sebangkumu pas ditolak Nila. Syakit, tapi tak berdarah." Bima menyautinya lebai.

Semburat tawa tak kuasa Jagat bendung, ia merangkul pundak Amar seraya membelai-belainya. "Kamu pasti kurang belaian, tho, Am? Nih, tak kasih belaian penuh kasih sayang." ucapan Jagat membuat Amar merinding.

Di belakang mereka, para penggemar Jagat sontak heboh melihat kelakuan Jagat yang memperlakukan Amar seperti kekasihnya.

"Gat, gak mungkin, kan, Kamu macarin Amar?" terdengar suara dari salah satu penggemar Jagat yang seangkatan.

Amar mendengar dugaan itu langsung menyisihkan kasar tangan Jagat. Namun, Jagat kembali merangkul Amar lebih posesif.

"Kak Jagatt..." teriakan penggemar Jagat makin bergemuruh.

"Lepasin, cuk!" umpat Amar amat malu dengan perlakukan gila Jagat.

Jagat malah tertawa dan tetap mempertahankan rangkulannya. Hal ini kontan saja mencengangkan banyak pihak termasuk Bima di sebelah mereka.

"Kalian pacaran kok gak bilang-bilang Aku, tho? Aku, kan, jadi sedih diduain." komentar Bima makin memparah keadaan.

"Lepasin, Cuk! Satu sekolah ngeliatin kita!" protesan Amar hanya masuk kuping kiri Jagat dan langsung lewat kuping kanannya.

"Pacar Kak Jagat ternyata Kak Amar..." salah satu penggemar Jagat mengumumkannya ke seluruh warga sekolah yang sedang menikmati waktu istirahat.

"Jantok Kamu, Gat!" umpatan demi umpatan dilimpahkan Amar pada Jagat. Sementara itu, Jagat sendiri tak acuh dan justru tertawa saja menikmatinya.

...

"Pak, istrinya tolong lebih diperhatikan, ya. Kasian bayi dalam kandungannya bisa terganggu." sampai dokter yang baru memeriksa kondisi Gemi.

"Istri? Kandungan?" Langit sontak terkejut dengan penyampaian dokter perempuan itu.

"Iya, istri Anda sedang hamil, kan? Di sini tertulis istri Anda sedang mengandung." dokternya ikut terkejut, pasalnya Langit terkesan suami yang kurang baik karena tidak mengetahui kondisi pasangannya.

Gemi yang sedang terkulai lemah lantas mendengus kasar, dalam hati ia mengatai petugas registrasi yang menyebabkan kesalahpahaman kurang mengenakkan ini.

Langit ingin tertawa melihat ekspresi kesal Gemi, tapi ia menahannya. "Siap, dok. Saya akan lebih memperhatikan istri Saya yang tersayang ini." balasnya bikin Gemi makin dongkol.

Dokter setengah baya itu tersenyum lebar, kemudian mempersilahkan mereka untuk menebus resep obat.

"Kamu nih apa-apaan, sih, Lang! Istra-istri, gundulmu!" Gemi tidak kuasa membendung omelannya. Ia kesal bukan main dikira istri Langit dan tengah berbadan dua. Demi senjata Mo Tae Gu sekalipun, Gemi tidak sudi dikira begitu.

Langit cekikikan, "Aku gak mau ngebuat dokternya malu sendiri, makanya Aku iyain sekalian. Lagian, kalo kemarin kita gak putus, pasti sekarang anak kita mau dua." Langit mengungkit-ungkit masa lalu mereka lagi. Dalam hati paling dalam, Langit belum sepenuhnya menerima perpisahan mereka.

Gemi mendengus, ia capai meladeni ketidakpuasan mantan pacar pertama sekaligus cinta pertamanya tersebut. "Mboh, sak karepmu!" ia kadung muak.

Langit tersenyum puas, ia pun mengayun kaki menebus obat yang telah diresepkan.
Tidak butuh waktu lama, Langit mendapatkan resep obatnya. Ia kembali ke titik Gemi dan merangkulnya tanpa malu. Gemi berusaha melepasnya, tapi Langit justru menngeratkannya.

Sampailah mereka di tempat parkir, Langit baru mau melepaskan rangkulannya di pundak Gemi.

"Kamu tau Aku sakit dari mana?" Gemi baru menanyakannya saat mereka memasuki mobil.

"Loh, Kamu lupa, tho, kalo batin kita masih saling terhubung?" canda Langit melempar balik tanya sambil mengenakan sabuk pengaman.

"Gak usah guyon, Lang." tegur Gemi serius.

Langit menyunggingkan senyum, "Masmu yang nelpon Aku buat nganterin Kamu brobat." jelasnya kemudian.

"Apa?"

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang