Dewi memberi dua lembar uang pecahan warna hijau pada Gemi sebagai tip mengantar anaknya. Dua lembar itu bagi Gemi sudah cukup untuk uang jajannya 2 hari ke depan. Belum lagi, uang dari Dewi kemarin masih ada. Lumayan.
"Kami pergi dulu, Bu De. Assalamualaikum..." Gemi berpamitan usai bincang sebentar dan menerima tip.
"Eh, Kamu kok gak saliman sama Mamamu, sih? Saliman sana!"
Jagat yang mau lalu gitu saja dicekal dan ditarik mundur oleh Gemi agar menyalimi Dewi, seperti kebiasaanya pada Halimah. Sudi tidak sudi Jagat pun menyalimi tangan mamanya dengan takzim.
Dewi senyum merekah, merasa bangga atas apa yang Gemi lakukan pada anaknya.
"Kita ini bangsa yang punya unggah-ungguh (tata krama), jangan lupakan hal itu. Dasar, anak jaman now!" tutur Gemi selayaknya orang tua. Jangan heran, Halimah yang mendidiknya.
Jagat yang dituturi cuma bisa diam dan lagi-lagi diam. Diamnya kali ini lebih mengarah pada kepatuhan, bukan pemberontakan seperti sedianya.
"Kamu sudah solat belum? Kalo belum, sana solat dulu! Di sini ada tempat solatnya." Gemi tak jemu menanyakan hal penting tersebut.
Jagat bungkam, ia enggan menjawab.
"Sudah atau belum? Diem aja kalo ditanyain! Ini udah jam 2 lewat, mumpung masih ada waktu segeralah solat, Den Bagus Endra Djatmiko Linggo Laksono Seokawiswara!" Gemi mengeluarkan jurus emak-emaknya.
Jagat ingin menyumpal telinga mendengar ocehan Gemi, ia jemu dengan itu.
"Solat itu penting, wajib dan kebutuhan kita sebagai hamba. Jangan hura-hura aja, tapi Sang Pencipta dilupakan, kurang ajar itu namanya. Selagi mas-"
"Tempat solatnya mana?" Jagat menyela, ia muak diomeli Gemi.
"Itu, lurus aja! Di pojokan sebelah kanan." Gemi memberi arah dengan telunjuk.
Jagat pun bergegas berangkat sebelum tambah panjang khotbahnya Gemi.
"Gat, kok balik lagi?" Dewi yang masih berdiri di belakang mereka karena menerima panggilan itu, bingung melihat anaknya kembali.
Gemi mendekat, "Saya minta buat solat dulu, Bu De." terangnya.
"Jagat belum solat?" Dewi agak terkejut.
Gemi memberi jawaban dengan anggukan kepala.
"Dan Kamu bisa memerintah anakku itu?" hal ini lebih mengejutkan lagi baginya.
"Iya, Bu De. Maaf, ya, Bu De. Saya memperlakukan anaknya Panjenengan seperti itu." Gemi salah menangkap pertanyaan Dewi sebagai bentuk kelancangan.
"Gak perlu minta maaf, Saya malah makasih banget akan hal itu." Dewi meluruskan.
Dahi Gemi berlipat-lipat, "Kok begitu, Bu De?"
"Terus terang saja, mulut Saya sampai berbusa merintah dia. Susah sekali disuruh ibadah, padahal itu kan kewajiban dia juga. Saya sampai heran sama dia." ungkap Dewi atas kesusahannya selama ini dalam mendidik Jagat.
Gemi senyum maklum, "Sama kalo gitu, Bu De."
"Kamu punya anak kayak Jagat juga, tho?"/saut Dewi segera.
"Bukan, ndak begitu, Bu De. Maksud Saya, Saya juga punya kakak yang seperti anaknya Panjenengan, sulit diajak dan disuruh ibadah." Gemi meluruskan.
Dewi mengangguk, ia merasa punya teman seperjuangan. "Ternyata Kamu bukan anak sulung, tho?"
"Bukan, Bu De. Saya ini anak kelima dari 5 bersaudara. Kakak Saya keempat-empatnya laki-laki semua. Saya cewek tercantik kedua setelah Kanjeng Ibuk." tutur Gemi mengenalkan statusnya di keluarga Bapak Soerjoprasojo.
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...