B A B A K H I R

1.2K 107 6
                                    

Rinai sore menjatuhi bumi. Menambah sendu suasanan perpisahan Gemi dengan para rekan kerja yang meninggalkan banyak jejak kenangan. Perempuan gendut itu memang tidak selama pekerja yang lain, tapi kehadirannya begitu lekat.

"Baik-baik di sana, ya, Gem." pesan Endah sambil memeluk Gemi dan mengusap-usap punggungnya.

Gemi mengangguk, ia tidak sanggup berkata-kata karena takut bulir kristal menghujani pipinya. Ia datang ke sini dengan senyum, begitupun saat pergi dari sini.

"Kabarin, lho, kalo ada kabar penting. Nanti gak taunya Kamu nemu jodoh di sana, nikah, trus gak kabar-kabar." cerocos Sekar yang sedih harus berpisah dari parter gibahnya tersebut. Manik hitamnya tidak mampu berbohong, berkaca-kaca.

Gemi cuma bisa tergelak mendengar kecerewetan seorang Sekar. Ia pun menyampaikan pasti akan mengabarkan hal penting itu jika sudah terjadi.

"Terima kasih semuanya, semoga sehat-sehat selalu kalian di sini." pungkas Gemi sebelum beranjak.

"Kamu juga, semoga selamat sampai tujuan dan kerasan di sana." balas Endah mewakili Sekar yang sudah terisak-isak.

Gemi mengamini dan lantas pamit pergi meninggalkan mereka. Tak lupa ia juga memamiti Wanto yang kebetulan berpapasan dengannya di basement. Sepatah dua patah ia sampaikan sebagai penghormatan pada lelaki paruh baya tersebut.

Aku akan mengingatnya sebagai kenangan indah.

Hawa dingin menusuk kulit tebal perempuan gendut itu, menyadarkan ia untuk segera pergi meninggalkan gedung yang berkemilau dibias sinar sore. Sepeda dikayuh dan Gemi melaju pulang.

...

Dua manik itu terpatri lama saat seorang pesepeda mengayuh sepedanya beranjak dari sebuah gedung kantor. Embusan angin yang dibawa rinai sore nyatanya tidak mengusik si empu dua manik itu. Bertahan di bawah rinai tanpa bosan.

Kamu terlihat baik-baik saja, Mbak.

Byakta Sejagat si empu dua manik itu menengadah, sebuah pelangi terlukis indah di ufuk timur dengan begitu sempurna. Memukau manik siapa saja yang memandangnya. Ada yang sesak di dadanya, kontras dengan keindahan yang pelangi lukiskan.

Ia sendiri yang memilih untuk menjadi pelangi bagi Gemi. Lantas, mengapa seakan tidak rela akan lenyap dalam sekejap?

Putra tunggal Dewi itu mencabut atensi, berputar memunggungi lengkung spektrum berwana itu mengayun langkah pergi. Cukup untuk merindukan Gemi dan kisah mereka yang sesingkat keindahan pelangi.

...

"Buk, langkahku udah bener, kan?" Gemi semakin risau jelang keberangkatannya yang tinggal menghitung hari.

Halimah yang tengah membantu Gemi melipati bajupun mengangguk, meyakinkan keraguan sang anak.

"Pilihanku untuk berhenti juga bener, kan?" Gemi banyak diselimuti kegelisahan pascaputus dengan si bocah SMA, Byakta Sejagat.

"Bener, Ndok..." Halimah mengusap gemas kepala sang anak bungsu.

Gemi mengangguk, perasaannya sedikit tenang dengan keyakinan yang Halimah berikan.

"Nanti kalo tinggal di tempat Pakdemu, junjung aturan yang ada di sana. Jangan samakan dengan di rumah ini." pesan Halimah sambil menata pakaian Gemi yang telah dilipati ke dalam sebuah koper.

"Siap, Kanjeng Mami!" saut Gemi sigap. Dia kemudian bergerak memeluk Halimah dari samping. "Selama Aku di tempat Pakde, Ibuk jangan capek-capek. Nanti kalo sakit, kan gak ada yang ngebantuin." ujarnya lembut.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang