24

707 93 0
                                    

"Kalo Kamu beneran suka dengan Mbak Gemi, Kami mendukungmu, Gat. Cinta itu tidak pandang waktu." begitu tanggapan Bastian mewakili teman-teman lainnya kala Jagat membenarkan perasaannya untuk Gemi.

Ketiga rekan seperjuangan Jagat dalam merintis kanal youtube kompak menyatakan dukungan. Tidak hanya modal dukungan, mereka juga membekali Jagat pengetahuan dasar dalam hal asmara. Terutama Nibras Pedrotama alias Edo si ahlinya penakluk hati perempuan, memberi tips-tips menyatakan cinta akurat dan tepat tanpa ditolak khusus untuk Jagat.

Maklumi saja, bagi mereka bertiga Jagat itu layaknya perempuan yang masih suci, belum terkontaminasi oleh percintaan khas remaja. Jagat memang memiliki penggemar fanatik yang didominasi penuh oleh kaum cicit hawa. Tapi, hal itu tidak menjadikannya terpapar virus asmara seperti remaja lainnya.

Jagat hanya jatuh cinta dengan buku, ilmu, dan futsal. Selanjutnya adalah Gemintang Soerjoprasojo. Perempuan yang terpaut 10 tahun jauh di atasnya itu mampu memberi getaran di hatinya. Getaran aneh namun nyamannya kemudian.

...

Gemi sedang santai saat ini, pekerjaannya menyiapkan tempat rapat sudah usai dari tadi. Ia memanfaatkan waktu senggangnya untuk mencari referensi-referensi bakal konten terbaru mereka. Gemi sepakat membantu mereka tanpa pamrih niatnya, tapi mereka ikhlas memberi pamrih untuk balas jasa Gemi. Yasudah, itu keberuntungan Gemi.

"Gem!" sebuah panggilan terdengar.

"Iya, Mbak Nel!" Gemi segera menutup pencariannya dan menimpali panggilan padanya.

"Gem, ada tugas darurat buatmu." Nella memberi tahu.

Gemi meneguk ludah, embel-embel darurat biasanya merujuk pada sang atasan yang biasa susah dipenuhi permintaannya. Itu kode rahasia di antara para bawahan.

"Kamu carikan rekomendasi makan siang sebanyak-banyaknya dan tunjukin ke Pak Dirman. Aku udah keawalahan ngadepinnya, apa-apa ditolak." perintah Nella yang saat ini berperan sebagai sekertaris pengganti sementara Dirman Semesta.

"Harus Saya, Mbak?" Gemi hitung-hitung juga bila disuruh apalagi katanya kondisi si atasan sedang tidak baik.

"Iyalah, semua pegawai sedang sibuk dan cuman Kamu yang kelihatan santai. Ayo, buruan!" desak Nella tidak mau tahu, kemudian pergi dari sana.

Gemi jadi gagap didesak seperti itu, tapi ia tidak punya pilihan lain karena itu termasuk tugasnya. Ia lantas membuka pencarian di gawainya lagi dan mulai menelusuri rekomendasi makan siang.

Gemi sudah lima menit menggulir tampilan foto menu-menu makan siang yang direkomendasikan situs pencarian. Tapi tak satu pun menu yang menurutnya mampu memenuhi permintaan sang atasan. Ia mengusap kasar wajahnya, frustrasi dilingkupi kebuntuan.

"Apa soto langgananku dan Langit, ya?" tiba-tiba Gemi terbesit menu soto favorit ia dan Langit sejak bersilam-silam.

"Tapi, apa lidahnya cocok sama soto?" Gemi memikirkannya ulang. Mengingat, sang atasan dari golongan kelas atas dan biasa hidup di luar negeri.

"Halah, ditolak piker keri (pikir belakang)." putus Gemi pasrah. Ia memasukkan gawai dan berangkat menghadap.

...

Gemi memaparkan menu andalan yang biasa ia makan saat makan siang pada Dirman Semesta yang duduk di tahtanya dengan elegan. Ia sudah khatam menyoal cita rasa soto andalannya.

"Saya jamin rasanya tidak mengecewakan." pungkas Gemi usai pemaparan.

Dirman Semesta menurunkan kakinya yang disilang, lalu berdiri menghampiri Gemi. "Apa yang bisa Kamu jaminkan bila rasanya tidak enak?"

"Saya yang bayar, Pak." Gemi merespon cepat, ia menyisih memberi jarak antara ia dan sang atasan.

Dirman Semesta malah tertawa garing mendengar jawaban Gemi. "Kamu mau mencemari pengecapan Saya kalau sampai soto itu tidak enak?" ia bersedekap dan mengatakannya dengan angkuh.

Gemi merasa tersinggung dengan ucapan Dirman Semesta, seakan lidahnya tak berpengalaman mencicipi cita rasa.

"Soto itu sudah buka sebelum Saya lahir, Pak. Kalo Bapak meragukan rasanya, silahkan coba dulu. Jangan mengatakan tidak enak, padahal Bapak belum mencoba! Bapak sama saja menghina pemilik sotonya." bibir Gemi gatal jika tidak mengomeli orang yang satu ini. Biarpun ia hanya kelas rendahan, tapi ia tetap punya harga diri.

"Kamu kok malah mengomeli Saya? Saya, kan, hanya meminta jaminan rasanya." Dirman Semesta balas mengomel karena tidak terima.

"Makanya Bapak rasakan dulu, baru berkomentar!" balas Gemi lantang. Mungkin ia satu-satunya pegawai di sini yang berani membalas bahkan meninggikan suara pada pucuk pimpinan.

Dirman Semesta melongo, baru kali ini ada bawahan yang berani padanya. "Kamu in-"

"Saya belikan, Bapak tunggu saja." sela Gemi tidak tahu sopan santun. Sengaja memang, karena saking meradangnya.

Beberapa saat berlalu, Gemi kembali ke kantor dengan menenteng sebungkus soto komplet dengan pugasannya. Ia menggunakan kocek pribadi sebagai jaminan untuk cita rasa soto legendaris tersebut. Dalam hati sambil meniti langkah, Gemi bersungut-sungut ingin menampol wajah sang atasan dengan kelezatan rasa soto tersebut. Gemi percaya, karena rasa tak pernah bohong.

Gemi mengambil alat makan, menuangkan soto beserta kuahnya ke sebuah mangkuk. Lalu ia taburkan pugasannya dan siap menyajikannya.

"Silahkan dicoba, Pak." Gemi menyuguhkan dengan raut kesal.

"Lama sekali!" cibir Dirman Semesta hampir saja menayangkan mangkuk terbang bersama isinya.

Gigi Gemi saling gemertak, gemas ingin melumuri mulut sang atasan dengan sambal pugasan sotonya.

"Ngapain Kamu di sini?" Dirman Semesta membatalkan suapan perdananya saat melihat Gemi masih berdiri di depan meja dan melihatinya.

"Saya akan memastikan Bapak bilang enak, baru Saya pergi." lontar Gemi dingin.

Dirman Semesta menaruh sendokan perdananya kembali ke mangkuk, lalu menibas-ngibaskan tangannya ke arah Gemi.

"Kamu keluar saja, Saya jadi tidak bisa fokus mencicipi kalo Kamu di sini." ungkapnya.

"Tidak mau, Saya harus dengar pengakuan Bapak." Gemi bersikukuh.

"Nanti Saya akuin, tapi sekarang Kamu keluar dulu. Aroma sotonya jadi tercampur bau keringat Kamu." bilang Dirman Semesta bikin Gemi sadar diri.

Gemi mencium sisi ketiaknya kanan kiri, ternyata benar apa keluhan Dirman Semesta. Ia tadi lupa pakai deodoran dan aktivitasnya sejak tadi memacu keringat.

"Kalo begitu, Saya mandi dulu, permisi." Gemi undur diri juga pada akhirnya. Ia keluar dari ruangan sang atasan sambil mengendus-endus bau badannya sendiri. Entah kenapa, semakin diendus semakin bikin ketagihan.

"Gem, gimana makan siangnya Pak Dirman?" Nella menghampiri Gemi yang baru menutup pintu.

"Awalnya sih bawel, tapi akhirnya dimakan juga, Mbak." sampai Gemi bikin Nella bernapas plong.

"Orang kayak Pak Dirman itu perlu diasingkan ke gurun pasir biar bersyukur gak cerewet soal makanan. Orang sudah kaya masih aja ngeluh! Gak malu apa sama orang yang lebih susah darinya? Dasar gak pernah ngaca!" omel Gemi sengaja dikeraskan.

Nella spontan menutup mulut Gemi, "Gem, jangan keras-keras! Nanti kedengeran."

"Biarin, Mbak. Biar denger sekalian dan syukur-syukur introspeksi diri." Gemi terus terang saja dengan berani.

"Jangan gitu, nanti kalo Kamu dipecat gimana? Udah, ayo, solat trus makan siang. Kutraktir Kamu hari ini." kalimat terakhir Nella bikin bungah suasana hati Gemi.

"Oke, ayo!"

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang