Di mana-mana Jagat tidak menemukan mbak beruang kesayangannya. Di markas, tempat salat, sampai kolong kursi juga tidak ada. Endah yang ingin ditanyai juga tidak ada. Ke mana Gemi?
"Siang, Mbak." Jagat akhirnya mendatangi Sekar.
"Eh, Kamu yang sering sama Gemi." sambut Sekar ramah sambil senyum sebar pesona. "Cari Gemi, ya?"
Jagat spontan mengangguk.
"Tadi, sih, Aku ngelihat dia ketemu laki-laki di lift trus pergi sama laki-laki itu dan belum kembali." terang Sekar sesuai apa yang dilihatnya tadi saat akan ke toilet.
"Laki-laki?" pikiran Jagat langsung terjurus pada laki-laki yang waktu itu. Laki-laki yang diduganya telah memurungkan wajah ceria mbak beruang kesayangannya.
"Iya, tapi Aku gak tau siapa." imbuh Sekar.
Jagat mengangguk lagi seraya bilang terima kasih. Ia memutuskan pergi dari sana.
Benak Jagat terganggu, ia penasaran siapakah pria itu sebenarnya. Ada hubungan apa di antara mereka sampai mendatangi Gemi ke kantor ini segala.
"Tidak mungkin jika tidak punya hubungan." Jagat menduga-duga. Entah kenapa hatinya gusar tak menentu, resah bila cintanya hanya sampai garis start.
"Hei, Kamu nyariin Gemi, ya?" suara Endah menyapa, mengangkat wajah Jagat yang termenung menatap lantai sambil jalan.
"Mbak Endah tau?" tanyanya.
Endah menunjuk arah tangga darurat, "Lagi nangis, gak tau kenapa." terangnya bikin Jagat terkejut. Jagat langsung bergegas mengetahui mbak beruangnya menangis. Tak lupa ia bilang terima kasih sambil lalu pada Endah.
Jagat membuka pintu, kupingnya langsung menangkap suara tangisan dari tangga yang mengarah ke bawah. Lekas-lekas ia pijaki anak tangga dan ia temui Gemi sedang duduk sambil menangkup wajahnya dengan bahu terguncang.
"Mbak Gem..." Jagat menyandingi Gemi, menyentuh pundaknya.
Gemi menurunkan tangkupan wajahnya, sembap bersimbah air mata terbingkai di wajahnya.
"Mbak Gem kenapa nangis?" Jagat jadi terenyuh melihat Gemi seperti itu.
"Dek..." Gemi mengucap penuh getar sambil memandang wajah Jagat. Matanya berkaca-kaca mau luruh kembali.
"Iya, Mbak?" timpal Jagat lembut. Ia senantiasa menunggu kelanjutan Gemi bicara
Gemi menyedot hidungnya yang meler, sambil menahan sesenggukan ia berkata, "Aku laper."
Sontak Jagat mendengus pendek, menyesal rasanya ia penasaran. Tapi ia plong, setidaknya Gemi baik-baik saja terlepas apa masalahnya.
"Ayo, kalo gitu." Jagat berdiri seraya mengulur tangannya untuk Gemi.
Gemi menyambut uluran tangan Jagat, memegangnya seraya bergerak bangkit. Sekuat tenaga Jagat menjaga keseimbangan agar insiden roboh seperti di film atau drama tidak menimpa mereka. Sungguh, Jagat tidak suka adegan itu.
"Aduh, duh, duh, semutan kakiku." keluh Gemi saat berdiri.
"Yaudah, dihilangin dulu semutannya." ujar Jagat sambil senyum lebar.
...
Jagat ingin pinjam kantong plastik hitam detik ini untuk membungkus wajahnya yang amat malu. Bagaimana tidak, Gemi menangis seperti anak kecil sambil memakan bakso merecon ditambah 4 sendok sambal. Orang-orang yang makan di sana sampai menyoroti mereka dan mungkin berpikir Jagatlah penyebabnya.
"Huwaa ... baksonya kok pedes banget..." bilangnya ulang-ulang sambil sesenggukan. Bibirnya sudah merekah bagai habis ditonjok orang. Wajahnya makin sembap terus menangis. Bahkan, satu gulung tisu habis dipakainya buat menyeka ingusnya. Membikin orang-orang yang makan bakso di sana ingin muntah.
"Ini es tehnya, Mbak." pemilik warung bakso yang iba melihatnya menghidangkan es teh ekstra.
"Saya gak mesen, Mas..." balas Gemi seraya mengembalikan sodoran es teh itu ke pemiliknya.
"Ini khusus, Mbak." lirih si pemilik hanya menujukannya pada Gemi.
Keibaan si pemilik warung berhasil membuatnya tersedu-sedu kembali. Ia tidak perduli orang bilang apa tentangnya saat ini. Ia hanya ingin menangis, itu saja.
Jagat menghela napas pendek kesekian kalinya. Benaknya terus disusupi beribu tanya tentang apa yang Gemi sedihkan. Ia tahu, pedasnya bakso bukan alasan semata-mata yang membuat Gemi menangis. Bakso itu hanya alibinya.
Apa yang laki-laki itu perbuat pada Gemi? Kenapa ada kesedihan tiap Gemi bertemu laki-laki itu? Siapa laki-laki itu? Kepala Jagat akan pecah bila terus memikirkannya.
"Mbak, udah, ya. Perut Mbak nanti bisa sakit." bujuk Jagat sembari menahan tangan Gemi untuk menyendok baksonya lagi. Ia tidak tega membiarkan Gemi terus memakannya. Padahal yang ia tahu Gemi tidak memakan makanan sepedas itu. Jagat ingat benar, Gemi pernah bilang jika makanan yang terlalu pedas kurang kenikmatannya.
Gemi menggeleng, ia memindahkan tangan Jagat dan menyendokkan kembali ke mulutnya.
"Huwaaa..." Gemi kembali menangis seperti anak kecil. Entah, besok ia bisa melek atau tidak.
Jagat tidak tahan lagi, ia bangkit dan membayar makan mereka. Lalu membawa paksa Gemi pergi dari sana. Tidak lupa ia meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.
...
"Ya Allah, mukaku..." Gemi syok kala melihat penampakan wajahnya di kaca spion. Dia sampai tak percaya wajah yang terpantul di kaca spion itu adalah wajahnya sendiri.
"Masih mau nangis lagi, Mbak?" Jagat kembali membawa air mineral kemasan.
"Pingin, tapi takut gak bisa melek pas bangun tidur." balas Gemi seraya mengakhiri sesi berkaca. Ia khawatir kaca spion itu akan pecah bila terus dipertampakkan wajahnya.
Jagat tertawa kecil, lalu memberikan air minum kemasan di tangannya kepada Gemi.
Gemi menerima air itu, kemudian ia membasuh wajahnya dengan air tersebut.
"Duduk lagi di sana, yuk, Mbak?" ajak Jagat menunjuk deretan dudukan cor semen yang disediakan oleh pihak pengelola taman olahraga. Jagat tadi sengaja membawa Gemi ke sini untuk menenangkannya.
"Boleh." Gemi menyetujuinya. Sambil mengekori langkah Jagat, ia mengelap wajahnya pakai lembaran tisu di tasnya.
"Kamu gak les memangnya?" Gemi duduk menyandingi Jagat.
Jagat menggeleng, "Aku meliburkan diri." katanya.
"Meliburkan diri, mbahmu. Palingan Kamunya yang lagi males-malesan." cemooh Gemi sambil berdecak.
"Bolos sehari buat nemenin orang sedih, emangnya gak boleh?" gumam Jagat membalasnya sambil buang muka.
"Kamu ngomong apa?" atensi Gemi langsung tersedot, samar-samar ia dengar ada kata sedih yang berbaur dengan suara klakson mobil lewat.
"Wajah Mbak makin gak enak dilihat kalo Mbak sedih." Jagat merubah pernyataannya.
Gemi cemberut, "Berarti kalo gak sedih, tetep gak enak dilihat?"
Jagat melipat bibir, ia salah memilih kalimat. "Bukan gitu maksudku, Mbak. Mak-"
"Tinggal bilang wajahku jelek aja susah amat." ketus Gemi sambil memalingkan wajah ke sisi lain.
Jagat menggaruk pelipisnya tanpa sebab. Ia telah melakukan kesalahan fatal karena menyinggung ihwal sensitif di kalangan perempuan.
"Aku cuman mau menghiburmu, Mbak. Gak bermaksud menghina atau apa pun itu. Aku serius." Jagat lekas mengklarifikasinya.
Mendengar itu, Gemi diam-diam membentangkan bibirnya.
"Aku minta maaf." sejurus kemudian Jagat menyesali kesalahannya.
Gemi menghadapkan wajahnya kembali ke Jagat, tampak wajahnya kini tidak masam lagi. Bahkan, ia malah tersenyum lebar. Membikin Jagat bingung menafsirkan arti raut wajahnya.
"Kamu gak perlu minta maaf, karena dari dulu Aku percaya tidak ada perempuan jelek di dunia ini. Penilaian oranglah yang mengotak-ngotakkan perempuan jadi jelek atau cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...