Bodoh, Gemi merutuki dirinya yang gegabah dan asal bicara. Ia memang ingin Langit belajar melepaskannya pelan-pelan saja seperti kata Tantri Kotak. Tapi, keputusannya amat bodoh. Bisa-bisanya ia melibatkan nama bocah SMA itu dalam urusan pribadinya. Bagaimana bila Langit tahu kalau Byakta adalah bocah SMA? Entahlah. Gemi tidak mengerti, nama Jagat terlintas begitu saja di benaknya.
"Siapa dia, Gem? Pria mana? Kerja apa? Orangnya kayak apa?" Langit mencecar Gemi dengan beragam pertanyaan.
Gemi mati kutu. Ia tidak bisa menerangkan bahwa nama yang disebutkan adalah seorang murid SMA yang terpaut jauh di bawahnya.
"Kami belum begitu deket, Aku belum bisa cerita. Mending Kamu pulang lagi ke tempat kerjamu, gak baik izin lama-lama." akhirnya Gemi punya cara sendiri untuk menyetop Langit agar tidak mengulik lebih detail tentang sosok Jagat.
"Kamu punya utang penjelasan, lho, ya. Awas ora mbok saur (awas gak Kamu bayar), titeni (liat aja)." Langit memegang ucapan Gemi.
Gemi cuma bisa mengangguk-angguk dan mempersilahkan mantannya itu pulang.
"Ya Gusti ... tidak pintarnya diriku..." Gemi mengetuk-ngetuk keningnya sendiri sambil menyesali perbuatannya.
Kenapa ia harus berbohong dan kenapa harus nama Jagat yang ia sangkutkan? Gemi membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Kepalanya yang berdenyut-denyut tambah berdenyut, ia telah menggali lubang kuburannya sendiri.
Gemi beranjak dari sofa, tidur di kamar mungkin obat mujarab untuk saat ini.
...
Jagat ingin rasanya menerobos lampu lalu lintas yang menurutnya begitu lambat berganti. Jarak yang seharusnya hanya perlu ditempuh 15 menit pada normalnya, terasa amat panjang baginya. Belum lagi volume kendaraan yang meningkat menginjak jam-jam pulang sekolah atau kerja, makin memperlambat pergerakannya menuju rumah Gemi.
Yeah, demi memastikan langsung keadaan Gemi, Jagat rela menempuhnya.
Lampu hijau menyala, Jagat segera tancap gas menyalip kendaraan-kendaraan besar di depannya. Riwayatnya pernah koma pascakecelakaan nyatanya tak menyurutkan keberaniannya melintasi jalanan. Hanya saja, Jagat lebih hati-hati dari sebelumnya karena membawa motor milik kantor mamanya. Ia sangat tidak ingin SIMnya disita apalagi dimusnahkan oleh Dewi. Rencananya membawa Gemi jalan-jalan naik motor bisa gagal. Jangan sampai.
Jagat makin menambah kecepatannya begitu lolos menyalip sebuah truk gandeng. Jarum spidometernya menunjuk ke angka delapan puluhan. Mungkin tambah kecepatan sedikit lagi, Jagat bisa terbang.
Sambil mengebut, Jagat memindai nama jalan yang mengarah ke rumah Gemi. Wanto tadi menerangkannya dengan detail saat ditanyai. Sehingga, Jagat tidak perlu menggunakan petunjuk arah sebuah aplikasi yang kadang menyesatkan.
Ketemu, plang bertuliskan sebuah nama jalan yang dicari Jagat terlihat di kiri jalan. Jagat hanya perlu menyalakan lampu sein ke kiri dan membelok dengan aman. Hanya butuh beberapa meter lagi ia sampai.
Kecepatan motor Jagat mulai diturunkan, ia harus memindai dengan seksama ciri bangunan rumah Gemi. Saat hampir akan kebablasan, ia sempat menangkap sosok Gemi ada di salah satu rumah yang ia lewati.
"Mbak Gem!" panggilnya begitu memasuki area pekarangan rumah Gemi.
Gemi yang saat itu akan membuang sesuatu di depan rumahnya lantas kaget.
"Kamu kok ke sini?" pertanyaan Gemi terdengar seperti kurang menyambut baik kedatangan Jagat.
"Nengokin Mbak emangnya gak boleh?" balas Jagat seraya melepas helm dan turun dari motor bebek yang ditungganginya.
"Bukannya gak boleh, tapi kan Kamu ada jadwal les. Kalo Mamamu tau Kamu bolos lagi gimana? Eman-eman udah bayar lesnya mahal-mahal, tapi Kamu suka bolos." Gemi mencereweti Jagat layaknya emak-emak pada umunya.
"Aku dah izin dan Mama bolehin." terang Jagat mematahkan kecerewetan Gemi yang patut sekali bila jadi ibunya.
"Oh." Gemi kicep dan hanya bisa bilang begitu. Ia lantas mempersilahkan Jagat memasuki rumahnya dan memberitahukan Halimah bila ada tamu.
"Cah bagus, siapa namanya?" Halimah menyapa ramah Jagat yang menyalimi tangannya saat bertemu.
"Jagat, Tante." balas Jagat sopan.
"Oh, Nak Jagat namanya." Halimah mengangguki, ia mempersilahkan Jagat duduk kembali. "Kita ini tinggal di desa, kalo manggil Saya bulik atau ibuk saja, ya. Biar patut sesuai lingkungan dan budaya." saran Halimah kurang akrab dipanggil seperti itu oleh Jagat.
"Baik, Bulek." Jagat memilih sebutan yang dipakainya.
"Dia anaknya Bu Dewi, Buk. Yang sering kuceritakan ke Ibuk." ulas Gemi singkat memperkenalkan Jagat pada Halimah.
Jagat melebarkan senyuman. Terselip kebahagian dan kebanggaan menjadi salah satu tema cerita Gemi pada ibunya. Itu artinya, Gemi menganggapnya ada di dalam kehidupannya.
"Oalah, yang katamu susah diajak solat kayak Rara itu, ya?" timpal Halimah melunturkan setitik kebahagian dan kebanggan di hati Jagat. Ia seperti dijunjung lalu diempas begitu cepat.
Gemi tersenyum masam, ibuknya ini terlalu blak-blakan di depan orang yang baru ditemuinya.
Jagat tetap mempertahankan senyum pasta giginya meskipun rasa di hatinya berubah.
"Bulek ini guyon, lho, Nak Jagat. Gemi tidak luput menceritakan hal yang baik-baik tentang awakmu juga. Malah katanya, Kamu ini lebih ganteng dari pemain sinetron senenganku, Si Ken dan Zidan." papar Halimah agak melebih-lebihkan apa yang sebenarnya Gemi ucapkan padanya.
Mata Gemi spontan melotot, ia merasa tidak pernah membuat pengakuan seperti itu. Sementara itu di pihak sebelah, Jagat malah tersipu mendengar pengakuan mengejutkan itu. Gemi mengakui kegantengannya, itu sebuah penghargaan tersendiri baginya.
"Healah, Ibuk malah fitnah. Kapan Aku pernah muji-muji bocah ini? Ibuk jangan ngarang cerita mentang-mentang orangnya di sini." Gemi tentu membantah pernyataan Halimah.
"Kamu itu yang mendadak lupa ingatan. Kamu sendiri yang bilang anaknya Bu Dewi golongan cogan-cogan. Cogan kalo bukan cowok ganteng trus apa, huh?" Halimah tidak mau kalah menyanggahi anaknya. Ia merasa Gemi seperti menutup-nutupi pengakuannya sendiri.
Jagat entah kenapa senang melihat interaksi ibu dan anak ini. Seru dan menghibur.
"Udahlah, terserah Ibuk aja." Gemi cepat menyerah. "Ibuk gak berniatan bikinin jamuan buat tamu kita, Buk?"
"Lah, yang didatengin siapa, kok Ibuk yang disuruh." balas Halimah melimpahkan kembali ke Gemi.
"Aku kan lagi sakit, Buk." alasan Gemi sok melas.
Halimah mendecih, "Sakit kok ngabisin bubur dua mangkok." ejeknya bikin Gemi makin malu di depan Jagat. Entah, akhir-akhir ini Gemi seperti jaga muka dengan Jagat, meski tidak sepenuhnya.
"Dua mangkok, Bulek?" Jagat turut menanggapi.
Halimah lantas membenarkan dan membeberkan apa saja yang Gemi makan hari ini. Sambil menggunjing kegiatan Gemi yang cuma makan, minum obat, dan tidur. Jagat pun menyimak dan merespon cukup baik. Mencairkan obrolan kedua orang asing ini dan menistakan Gemi.
Gemi muak, ia pun memaksa Halimah untuk ke belakang atau ke mana pun. Asal tidak mengobrol dengan Jagat yang ujung-ujungnya menjelekkannya. Selepas Halimah undur diri, suasana yang tercipta malah kecanggungan.
"Mbak kenapa gak ngabarin Aku kalo sakit? Nomermu juga gak aktif, Mbak." tutur Jagat membelah kecanggungan.
"Lagi gak minat megang HP, jadi kumatiin." Gemi gamblang saja menjawabnya. "Lha, harus, tho, Aku ngabarin Kamu kalo Ak-"
"Aku mengkhawatirkan Kamu, Mbak."
![](https://img.wattpad.com/cover/280888379-288-k372609.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
Fiction généraleBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...