23

761 97 2
                                    

Gemi damai-damai saja bekerja sebagai tukang bersih-bersih selama empat minggu lebih di kantor perusahaan ini. Kerjanya disuruh-suruh, tapi gajinya lumayan. Belum lagi tambahan pundi-pundi dari mengantar pulang Jagat, lumayan. Gaji sedang, tapi pikiran tenang.

Gemi tidak perlu lagi membungkus pekerjaan di kantor untuk dibawa ke rumah. Kepalanya tidak perlu pusing 7 keliling membuat laporan-laporan, rapat, presentasi, menghadapi klien dengan segala karakteristiknya, dan sejuta masalah lainnya saat ia jadi pegawai. Lebih-lebih, ia bisa memerdekakan dirinya dari tekanan rekan kerjanya, yakni Putri.

Ada masalah apa di antara mereka? Kita ungkap sambil lalu saja.

Kembali pada Gemi saat ini. Ia sedang disibukkan dengan rutinitasnya mengantar minuman ke beberapa ruangan yang memesannya.

"Mbak Karin, ini pesenan Cafe Lattenya." Gemi membaginya dengan riang.

"Makasih, Gem." balasan baik dari pegawai bernama Karin tersebut.

"Kopi hitam pahit favorit Pak Tejo, siap antar..." Gemi menghampiri meja lain yang juga memesan.

"Terima kasih, Nona Gemi yang baik..." Tejo, si rambut keriting dipotong cepak dan bertubuh bundar pendek itu menimpali.

Gemi senyum semringah, ia senang dengan pengakuan Tejo tersebut. Ketimbang disanjung cantik, ia lebih senang disanjung akan kebaikannya. Tunggu, memangnya Gemi cantik?

Wedhus Kamu, thor!

Bukan Gemi jika tidak mewedhus-wedhuskan orang. Wekaweka. Oke, mari akhiri selipan tidak berguna ini.

Gemi selesai membagikan senampan pesanan minuman yang beragam. Mulai dari kedai kopi, kopi instan, sampai racikan sendiri. Semua kontan diantar Gemi.

"Selamat pagi, Pak Dirman." Gemi tidak sengaja berpapasan dengan atasan menyebalkannya itu.

Bukannya membalas sapaan, Dirman Semesta malah langsung menutup pintu lift. Seakan melihat Gemi akan membawa sial pada harinya.

"Hiiih ... tak uleg-uleg pakek senjatanya Mo Tae Goo rasakno!" Gemi mengepalkan tangannya ke depan pintu lift yang sudah tutup dari tadi dan membawa turun sang atasan peninggi tensi.

Gemi mengambil napas, mengembusnya dengan damai. Hari masih pagi, tidak baik marah-marah. Dia, kan, sudah melewati siklus bulanannya setelah bertemu Langit waktu itu. Jadi, ia tidak boleh emosional sekarang.

...

"Byakta, tolong ambilkan bolanya di gudang!" perintah Wawan, guru olahraga andalan yang diamanatkan mengajar kelas dua belas.

"Baik, Pak!" Jagat langsung berdiri menjalankan perintah. Tanpa ditemani oleh rekannya, ia pergi sendiri meminta kunci gudang olahraga dan menuju ke sana.

"Mau apa kalian?!"

Saat Jagat tiba di halaman belakang gedung kelas, atau tepatnya 20 meter dari tempat tujuannya, ia mendengar suara tersebut. Ia tidak minat mengacungkannya, tapi minatnya berubah saat mengetahui ada indikasi perundungan di sana.

"Dasar, anaknya tukang selingkuh! Berani-beraninya natap kita kayak gitu, mati sana!" hardik salah seorang siswi berdandan ala artis ibu kota. Sambil menghardik, tangannya sambil menjambak murid perempuan yang sepertinya dikenali Jagat.

"Ayu?" gumamnya merasa ingat akan gadis yang pernah menyatakan suka padanya.

Jagat sangat tidak mentoleransi apa pun bentuk perundungan dengan segala alasannya. Ia tidak mau tutup mata, dengan langkah gagahnya dan aura dinginnya ia menghampiri mereka. Dengan cepat Jagat meraih tangan si penjambak Ayu dan menurunkannya paksa.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang