38

618 80 72
                                    

Jagat tertawa lepas menyaksikan kiriman pesan Gemi yang langsung dihapus sesaat setelah dikirim. Ia belum membukanya, tapi pesan itu telah sampai dan dibaca olehnya.

Peragu banget, sih, Kamu, Mbak? Jadi makin suka. Batin Jagat gemas.

Jagat menanggalkan gawainya di nakas, ia beranjak ke meja belajar mengambil laptopnya lalu membukanya. Sebenarnya ia sangat merindukan Gemi, namun ia harus menahannya. Seperti yang diajarkan Edo, ia harus menjauh atau menghilang beberapa saat agar perempuan yang digapai mencarinya. Dan terbuktu, Gemi malu-malu merindukannya meski dihalangi jaga gengsi.

Jagat tersenyum lebar, wajah aib Gemi saat kepergok tidur di teras waktu itu menjadi layar berandanya. Tidak ada yang lucu atau indah dari wajah Gemi, tapi menarik saja untuk terus dipandangi.

"Sabar, ya, Mbak. Aku akan kembali saat waktunya tiba." Jagat mengelus area pipi Gemi di layar dengan ibu jarinya.

Jagat membuka penjelajahan, menuju folder dokumen lalu membuka sebuah berkas. Ia mulai mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan guru bimbelnya.

...

Gemi terus manatap pintu rumah Bastian, berharap Jagat muncul seperti di cerita-cerita fiksi maupun drama-drama. Muncul membawa seuntai senyuman dan sebungkus bakso. Alih-alih Jagat yang datang, malah sosok lain berbadan tinggi besar dan terlihat paruh baya.

"Assalamualaikum..." sapa sosok tinggi besar paruh baya tersebut.

"Waalaikumsalam, Pak..."

"Waalaikumsalam, Yah." Hilmi meyauti disusul Bastian.

"Loh?" sosok itu terperanjat sambil menunjuk Gemi.

"Bapak yang waktu itu?" Gemi sama terkejutnya.

"Ayah kenal Mbak Gemi?" Bastian melihati sosok yang ternyata ayahnya itu dan Gemi bergantian.

Ayah Bastian merekahkan senyuman, menurunkan telunjuknya lalu menghampiri mereka di sofa. "Mbak Gemi ini pernah bantuin Ayah ngurus KTP di kecamatan waktu itu." jelas ayah seraya duduk.

Bastian manggut-manggut, "Dunia memang sekecil daun kelor." ujarnya disetujui semua.

"Kamu berarti di sini ikut bikin konten dengan mereka?" ayah menanyai Gemi.

"Iya, Pak. Mereka butuh pendampingan, jadi Saya hanya bantu-bantu sebisanya." terang Gemi.

"Sejak kapan? Saya baru melihatnya?" tanggapan ayah yang belum disebutkan namanya tersebut.

"Ayah aja jarang di rumah, gimana mau lihat Mbak Gemi? Paling kalo pulang, juga di rumah sebelah. Gak ke sini." Bastian malah yang menyauti.

Ayah terkekeh sambil mengangguk, ia mengakui pengakuan anaknya. "Lalu, bagaimana kalian bisa kenal?"

"Jagat yang ngenalin, Pak." Hilmi menyauti.

Kedua alis ayah saling bertaut, ia tampak menerka-nerka alurnya.

"Mbak Gemi dapat tugas dari Tante Dewi buat jemput dan nganter Jagat, Yah. Dan berkumpullah kita sekarang." Bastian memberi keterangan lebih lanjut.

Gemi memberi anggukan saat ayah melihatinya sekedar mengonfirmasi lewat tatapan. "Begitu rupanya." angguknya.

"Kalian tidak butuh sesuatu untuk ngerjain konten ini? Cemilan misalnya?" ayah memberi tawaran.

"Boleh, Yah!" seru Bastian sangat antusias.

"Kalau begitu, sana beli atau pesan antar. Ayah yang bayar." jiwa dermawan ayah patut diberi tekan tombol jempol ke atas oleh warganet.

"Ayo, pesen, Hil!" titah Bastian tak sabaran.

"Ayah mau istirahat, ini uangnya. 200 cukup, kan?" ayah mengeluarkan dua lembar merah gambar Seokarno-Hatta tersenyum pada mereka.

"Ditambah juga boleh..." Bastian makin melunjak, sudah dikasih jantung minta ampela.

Ayah terkekeh, lalu menarik tiga lembar merah Seokarno-Hatta tersenyum lagi dari dompetnya. "Cukup, kan?"

"Ini terlalu berlebihan, Pak. Bisa buat borong bakso sepancinya kalo begini." Gemi teramat sungkan menerimanya.

"Gak apa-apa, Mbak. Uang Ayah masih banyak, kok. Sehari jajan lima juta juga gak akan ngebuat Ayah miskin." Bastian menimpali dengan entengnya.

"Tetap saja, ini berlebihan." sanggah Gemi tak enak hati. Lima ratus ribu bukan uang sedikit bagi Gemi. Ia butuh menabung di celengan kaleng susu selama berbulan-bulan untuk menghimpunnya. Itupun, kalau Gemi tidak khilaf menyungkilnya untuk beli sesuatu.

"Saya beri lebih buat jaga-jaga kalau kurang. Sisanya, bisa kalian tabung untuk operasional kalian." ayah memberi tanggapan guna mengikis kesungkanan Gemi.

"Terima kasih untuk kontribusinya. Selamat istirahat, Bapak Brotoseno yang terhormat." lontar Hilmi bikin ayah yang bernama Brotoseno itu tertawa.

"Kamu jangan genit-genit, Hil. Mentang-mentang ada cewek di sini." canda Brotoseno atau kita panggil Seno saja sebelum beranjak.

"Saya gak genit, Pak. Anak Bapak ini yang genit dan capernya masampun sama Mbak Gemi." Hilmi membela diri, melempar tudingan ke Bastian.

"Capernya iya, genitnya enggak, yo! Aku seneng ada Mbak Gemi karena ngerasa punya kakak perempuan." pengakuan Bastian mengagetkan Hilmi dan Gemi sendiri. Ucapannya seperti candaan, namun wajahnya menampakkan keseriusan.

"Makanya, suruh Masmu cepet nikah biar Kamu punya kakak perempuan." saut Seno disertai tawa.

"Ayah aja gak didengerin, apalagi Aku? Blas ra digagas (sama sekali gak digugu)." komentar Bastian ikut tertawa. Gemi yang tidak tahu apa-apa cuma mesem lebar saja macam orang kurang pintar. Sementara Hilmi, turut melebur dalam tawa.

Seno pergi dari sana, menyisakan tiga insan yang tengah sibuk memilih menu pesan antar. Di tengah kesibukan, tiba-tiba Bastian berceletuk.

"Aku tadi serius, lho, Mbak." bilangnya.

Gemi mengerutkan kening, "Serius apa?"

"Aku suka sama Mbak." aku Bastian mengheningkan suasana. "Tapi, sebagai kakak perempuan..." lanjut Bastian dibarengi ledakan tawa.

Gemi yang hampir lupa daratan sontak terbahak-bahak mendengar kelanjutan Bastian. Hampir saja jantungnya berdetak tanpa permisi. Ia jadi malu sendiri.

"Sampai beneran, dibantai Jagat Kamu nanti." ujar Hilmi di sela tawa.

Tawa Gemi memudar perlahan, benaknya kembali dipenuhi ingatan tentang Jagat. Ia memaksakan senyuman, ikut membaur dengan tawa mereka. Walau sebenarnya, ada sesak yang ia tahan.

Aku memang salah, Dek. Tapi Kamu jangan ngilang kayak gini, tho. Aku jadi rindu.

...

Mentari menyingsing, benderang menyisih kabut malam. Menggantikan peran sang bintang yang kembali keperaduan. Tiga minggu sudah, Jagat hilang bak ikut tergulung kabut malam. Menyisakan Gemintang tertatih-tatih di balik senyum kepalsuan. Gemi boleh bilang baik-baik saja. Tapi hatinya, jangan didusta.

"Dasar pengecut! Baru gitu aja udah mundur!" Gemi mengomeli kontak Jagat yang online tapi malah meng-offline-kannya.

"Kalo mental tempe, mending gak usah maju dan ngasih harapan semu! Dasar pengecut!" curah Gemi meluap-luap disampaikan melalui pesan suara. Persetan pesan itu sampai ke telinga Jagat atau tidak. Ia kadung kesal.

Sesaat setelah mengirim pesan suara, tiba-tiba saja...

"Kalo mental tempe, mending gak usah maju dan ngasih harapan semu! Dasar pengecut!"

Gemi menegang, suara persis sekali seperti yang baru diucapkannya mengudara tanpa ia putar. Suara itu terdengar persis di belakangnya. Ia melihati gawai, pesan suaranya telah tercentang dua biru.

Gemi memegang tengkuknya, mulutnya membuka kecil. Ia menahan napas, menolehkan kepalanya pelan-pelan sambil merapalkan doa pengusir setan. Hari mulai petang, sangat memungkinkan bangsa yang halus-halus keluar.

"Astagfirullah!"

"Nungguin Aku, Mbak?"

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang