"JAGAT!" sontak Dewi bangkit, mengayun tangannya cepat ke samping muka Jagat.
Sebuah tamparan keras melayang, mendera wajah Jagat untuk kali pertama dalam hidupnya. Jagat mengencangkan rahang, dia menahan panas di pipi. Bocah SMA itu tak gentar dengan pilihannya.
"Diajarin apa Kamu sama Gemi, hah! Kamu tidak pernah membangkang seperti ini." mata Dewi melotot tajam sampai akan loncat keluar.
"Mbak Gemi selalu minta Aku untuk menghormati Mama, jangan menuduh yang bukan-bukan, Ma!" Jagat membalas tudingan mamanya dengan sengit.
"Kamu ini..." geram Dewi hampir mengangkat tangannya lagi, tapi dia urung.
"Ma, Mbak Gemi orang baik. Apa salahnya Aku mencintai Mbak Gemi?" Jagat meneruskan unek-uneknya. Dia berusaha keras mengontrol emosinya.
"Mama tau, tapi dia ketuaan untukmu, Sayang! Kalian punya goal yang beda." Dewi coba merasionalkan otak sang anak yang diyakininya telah diracuni oleh Gemi.
"Kami tidak perduli hal itu." saut Jagat tidak goyah.
"Jagat!" suara Dewi melengking, ia hampir kehilangan kendali. "Sadar, Nak, Kamu udah diracunin Gemi!" Dewi meraih kedua pundak Jagat dan mengguncang-guncangkannya, berharap si anak sadar.
Jagat mengambil langkah mundur, melepaskan diri dari cengkraman Dewi.
"Selama ini Aku udah nurutin semua keinginan Mama. Tapi kali ini aja ... biarkan Jagat buat milih sendiri." pinta Jagat melunakkan ucapan. Ia amat marah pada Dewi, tapi hatinya tidak tega melihat mata sang malaikat tak bersayapnya berkaca-kaca.
"Mama ngelakuin semua ini demi kebaikanmu, Nak. Mama ing-"
"Stop untuk bilang semuanya demi Aku, Ma!" Jagat memotong ucapan Dewi yang belum genap. "Apa Mama tau, apa yang Jagat rasakan selama ini?" ucapan Jagat terdengar bergetar. Tiba-tiba saja mata Jagat terasa panas dan dadanya sesak.
Dewi diam menatap anaknya mendalam. Ibu tunggal itu melipat bibir menanti suara anaknya.
"Jagat merasa..." Jagat mengambil napas berat, menatap langit-langit ruangan menahan air yang menggenang di pelupuk.
"Jagat, Kamu mau ke mana, Nak!" panggil Dewi manakala Jagat urung melanjutkan ucapan dan malah pergi.
Jagat capek didekte terus, Ma. Jagat merasa tidak memiliki hidup Jagat sendiri.
Jagat tidak mendengar panggilan Dewi, dia terus mengayun kaki pergi entah ke mana.
...
Di sinilah Jagat berada, di tengah kegelapan menangis sendiri dalam kesunyian. Menutup mata dengan lengan kirinya, Jagat berusaha tidak mengganggu siapa pun termasuk jangkrik yang menemaninya.
Jagat tidak punya tujuan saat ini dan bukan tipenya menunjukkan kesedihan pada orang lain. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja ia teringat Gemi. Terlintas di benak, Gemi datang menghampiri dan memeluknya. Memberi ketenangan tanpa perlu menerangkan semuanya.
Dada Jagat makin sesak, menangis dalam diam seperti ini sangat menyakitkan. Bocah SMA itu tidak tahan lagi mengeluarkan suara isakannya yang diikuti guncangan di kedua bahu.
Sepuluh menit kurang lebihnya Jagat menangis, melepaskan semua unek-unek yang terpedam di kalbunya. Dia menarik napas panjang, perasaannya jauh lebih baik sekarang. Meski di ujung napasnya tadi masih menyisakan getaran.
Jagat bangkit dari jungkat-jungkit yang didudukinya sedari tadi. Ia mengeluarkan gawai lalu menghubungi seseorang.
"Bas, jemput Aku di TK kita dulu."
...
Gemi tidak tahu sama sekali apa yang terjadi pada Jagat. Pacar kontraknya itu sudah tiga hari tidak pulang ke rumah, Gemi juga tidak tahu. Bukan tidak perduli, tapi Gemi merasa Jagat akan baik-baik saja sekalipun mereka tidak saling berkontak. Sampai pada waktunya, Dewi memanggilnya lagi.
"Kamu apakan anak Saya?" Dewi langsung menodongkan pertanyaan dengan nada tak berkawan begitu Gemi masuk.
Gemi menaikkan kedua alisnya, "Maksudnya apa, ya, Bu De? Saya kurang paham." sautnya sopan, meski di hati sudah menerka-nerka ini terkait Jagat.
"Tidak usah akting di depan Saya! Kamu, kan yang menghasut Jagat untuk pergi dari rumah, ngaku Kamu!" tuding Dewi tak berdasar.
Dahi Gemi sontak berkerut, ia terperanjat mendengar kabar itu. "Pergi dari rumah?" tanyanya.
"Iya, itu pasti karena hasutanmu, kan? Ngaku saja!" desak Dewi menyala-nyala. "Saya sudah baik ke Kamu, tapi Kamu malah menusuk Saya dari belakang. Dasar tidak tau diuntung!" lanjutnya memamaki.
"Menusuk bagaimana, Bu De jangan asal menuduh!" lontar Gemi tidak terima dimaki sementara dia tidak tahu apa-apa.
"Kamu bilang dapat dipercaya, tapi ternyata anak Saya Kamu pacarin. Kamu lupa?" ungkit Dewi disertai senyuman miring.
Gemi tergelak singkat, gadis itu tidak pernah merasa melakukan yang ditudingkan Dewi. "Kapan Saya pernah bilang?" tanyanya balik.
"Kamu tidak bilang langsung, tapi kamu menganggukinya." saut Dewi segera.
Gemi tergelak lagi, "Jika anggukan Saya Bu De anggap sebagai pengiyaan, maka Bu De salah. Saat itu, Saya hanya berpikir akan menimbangnya." papar Gemi memperjelas kembali pernyataan sebelumnya.
"Dasar perempuan tidak tahu malu!" Dewi tidak tahan untuk mengutuk Gemi saking geramnya.
"Anggap saja begitu, Bu De. Tapi Bu De," Gemi melangkah setapak, mempersempit jarak mereka yang semula satu bentangan tangan orang dewasa.
"Anehnya Saya merasa tidak bersalah. Apa salahnya saya dan Jagat berpacaran? Bukankah usianya sudah di atas 17 tahun yang artinya Jagat punya hak untuk menentukan dan memilih keinginannya sendiri?" lanjutnya begitu berani dengan nada rendah.
"Dasar kurang ajar!" Dewi mengangkat tangan dan mengayunkan ke arah wajah Gemi. Tapi, Gemi berhasil menangkap ayunan tangan Dewi.
"Apa? Ibu mau Saya laporkan atas tindak penganiayaan?" Gemi mengancam balik, tatapan matanya begitu nyalang pada Dewi. Seakan Gemi yang sopan dan lugu di mata Dewi kini menghilang digantikan sosok bengis seperti di film-film. Membuat Dewi kicep seketika.
"Saya tidak mengajaknya melakukan hal buruk dan melakukan pacaran yang aneh-aneh. Apakah tidak berlebihan sikap Bu De ini?" lontar Gemi menohok.
"Kamu telah meracuni pikiran anak saya! Kamu merusak masa depannya!" Dewi bersikeras dengan tudingannya.
"Meracuni? Merusak? Sangat lucu." Gemi lagi-lagi ingin terbahak mendengarnya.
"Bu De bisa menunjukkan bukti konkretnya jika tuduhan Bu De berdasar?" tantang Gemi.
"Bila ditinjau lagi, Saya malah melihat sisi positif Jagat tumbuh sejak bersama Saya. Bukannya mau sombong, bukankah Bu De bilang sendiri kalo kewalahan menyuruh Jagat solat?" Gemi merasa di atas angin dan semakin menikmati perannya.
"Selain itu, apakah Bu De menyadari jika Jagat menutup diri dari Anda? Saya tidak ingin ikut campur sebenarnya, tapi Saya rasa perlu menyampaikannya." Gemi berucap begitu santainya sambil berdiri menyanding Dewi.
"Jagat tahu yang sebenarnya terjadi pada mantan suami Anda. Tapi dia pura-pura percaya saja. Kenapa? Karena Jagat tau, mengungkitnya sama saja melukai hati Anda." Gemi menyampaikannya lirih, dia berusaha tidak membiarkan orang lain mendengar pembicaraan mereka.
Dewi sontak menghadap Gemi di sampingnya. "Apa kamu bilang?"
"Maaf, saya bukan robot pengulang. Silahkan, bicara langsung dengan putra Anda." Gemi berpaling ke arah lain, ia enggan menatap ibu dari pacar kontraknya itu.
"Cepat katakan!" paksa Dewi sambil meraih pundak Gemi dan mengguncang-guncangkannya.
Gemi spontan menepis tangan Dewi, membentang jarak di antara mereka. "Maaf, tidak ada siaran ulang." sampainya seraya beranjak. Sebelum sampai pintu, Gemi sedikit menoleh ke belakang. Ia menyampaikan, "Saran gratis dari Saya kalo Bu De mau pakai."
"Jagat itu butuh ruang untuk didengarkan dan rasa dipercaya. Dua hal itu, Saya rasa bisa memperbaiki masalah Bu De dan Jagat."
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
Ficção GeralBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...