"Mau makan di mana? Kuturuti, Gem." Nella membuka penawaran dengan bagus.
"Lagi pengen yang pedes-pedes, nih, Mbak." Gemi menyebar pandangan mencari tempat makan di sekitaran kantor yang menawarkan cita rasa pedas.
"Seblak kayaknya enak, Gem." tunjuk Nella merekomendasikan makanan asal kota kembang yang terkenal akan kepedasannya.
"Boleh, Mbak." Gemi setuju. Mereka pun lantas menapalkan kaki ke tempat makan tersebut.
...
Jagat bersama Amar dan Bima masih menongkrong santai di warung tenda depan pagar sekolah. Meski azan zuhur telah berkumandang, dan para guru sudah mengaba-aba para muridnya yang muslim untuk segera ke masjid. Tetap saja ketiga anak SMA itu masih santai-santai minum es rasa-rasa sambil menyemil gorengan.
"Am, Bim, ayo, solat!" ajak Jagat yang usai menandaskan es hari baiknya.
Amar yang lagi menyedot es jeruk keprok langsung tersedak mendengar ajakan tersebut. "Kamu udah ruqiyah, tho, Gat?"
"Udah, kemarin." Jagat menyauti cuek.
"Halah, gayamu ruqiyah! Paling sejam kemudian balik lagi." cemooh Amar tidak menyakini Jagat berubah secepat arah angin.
"Yaudah, Aku duluan." Jagat berdiri serta membayar apa yang dikonsumsinya. Baru saja Jagat akan beralih, Wawan sang guru olahraga merangkap guru ketertiban datang memergoki mereka dengan suara menggelegar.
"KALIAN INI, TIDAK DENGAR AZAN SEKERAS ITU! PERLU SAYA DEKATKAN SEPIKERNYA KE TELINGA KALIAN, IYA!" amukan Wawan Setiawan tidak terkalahkan.
Amar dan Bima yang masih menikmati minuman mereka langsung lari kocar-kocir menyelamatkan diri dari amukan Wawan Setiawan bin Marwan.
"Kamu itu panutan sekolah, setidaknya kasih contoh yang baik!" Jagat kena semprot Wawan juga pada akhirnya.
"Baik, Pak." jawab Jagat sambil mengangguk.
"Sana, ambil wudu!" titah Wawan lalu berpindah menertibkan siswa-siswa lain yang bandel.
Jagat melepas sepatunya, menaiki dua perundakan menuju serambi masjid bagian kanan tempat wudu kaum cicit adam.
"Gat, Pak Wow masih di sana, gak?" tanya Amar yang bersembunyi di tempat wudu.
"Mau ngapain kalo Pak Wow di sana? Udah, wudu aja sana! Gak usah kabur-kabur lagi." Jagat tahu benar apa yang akan dilakukan sahabatnya.
"Es jerukku masih setengah, Gat. Eman-eman masamu (sayang banget tau)!" alibi Amar.
"Heleh, palingan juga udah dibuang Mbok Darmi esmu, Am! Dah, ayo, wudu! Keburu komat." Bima bertentangan dengan Amar kali ini.
"Kui (tuh), rungokno (dengerin)! Jangan jadi setan terus, Am. Sekali-sekali insyaf." anjuran Jagat, tumben berada pada jalan yang lurus.
"Hooh, Am! Insyaflah wahai kau manusia, bila dirimu ber-"
"Masih belum wudu juga! Astagfirullah ... bocah-bocah iki!" suara Wawan yang menggelegar bak mercon tahun baru dan lebaran idulfitri kontan mengagetkan seluruh orang yang berwudu.
Jagat segera menuntaskan wudunya dan Bima kabur ke tempat salat karena dia sudah ambil wudu dari tadi. Sementara itu, Amar yang belum apa-apa kebingungan mencari cerat air yang tidak dipakai.
...
"Makasih, ya, Mbak Nell." Gemi berterima kasih sekali lagi sebelum berpisah dengan Nella.
"Aku yang harusnya makasih ke Kamu, karena udah nyelamatin Aku dari situasi darurat." Nella menyampaikannya dengan tulus.
"Gemi, gituloh!" bangga Gemi bikin Nella tertawa. Mereka pun berpisah ke tempat masing-masing.
"Makan siang sama Mbak Nella, Gem?" Sekar yang melihat Gemi bersama Nella lantas menanyai.
"Hooh, Mbak." balas Gemi seraya menghampirinya.
Sekar mengangguk, kemudian mengeluarkan sesuatu dari bawah mejanya. "Tugas darurat lagi." Sekar mengeluarkan kardus ukuran sedang dan menyodorkannya pada Gemi.
"Paketan buat Pak Dirman lagi?" Gemi menanya heran. Pasalnya, hampir setiap minggunya ada paketan barang untuk sang atasan tersebut.
Sekar mengangguki, "Denger-denger kabar, sih, katanya Pak Dirman lagi seneng nyoba-nyoba beli barang di olshop. Beli tok (doang), gak dipakai trus dikasih-kasihkan ke orang-orang. Pak Wanto kemarin dapet sepatu." papar Sekar.
"Dasar, horang khaya!" cibir Gemi sambil geleng-geleng kepala. Ia lantas mengambil kardus tersebut dan mengangkutnya. Semenjak Gemi bekerja di sini, Gemi menjadi jembatan bagi para pegawai dan Dirman Semesta. Hanya dia yang berani dan bisa menghadapi atasan bawel itu.
Gemi menuju lift, menunggu lift berhenti di lantai yang dipijaknya. Tidak butuh waktu begitu lama, pintu lift terbuka. Gemi siap melangkah, namun...
"Juminten, ngapain Kamu di sini?" satu-satunya orang yang berani memanggilnya Juminten berdiri di dalam lift itu.
Badan Gemi gemetar, telapak tangannya mendadak banjir keringat dingin.
"Aku-"
"Gem, kok belum Kamu anter barangnya..." Sekar tak jadi meneruskan perkataan melihat ada indikasi tidak baik antara pertemuan Gemi dan lelaki di depannya.
"Jangan lupa dianterin ke Pak Dirman, ya." pesan Sekar segera pergi dari sana.
"Ikut Mas, Mas mau bicara."
...
Gemi hanya bisa merunduk sesenggukan sambil mendekap kardus yang dibawanya, manakala dimarahi habis-habisan oleh Nakula. Kakak laki-laki keempatnya itu marah besar lantaran tahu adiknya hanya jadi tukang bersih-bersih dan disuruh-suruh di kantor pusat tempatnya bekerja. Parahnya, hanya Nakula orang terdekat Gemi yang baru tahu.
"Buat apa tak biayai kuliahmu sampek S2 kalo akhirnya Kamu hanya jongos di kantor pusat Masmu ini, hah!" murka Nakula tak terbendung.
"Apa, apa artinya Kamu belajar selama ini kalo ujungnya Kamu kayak gini? Apa!" bentak Nakula bikin tangis Gemi makin pecah.
Nakula memejamkan matanya, ia sebenarnya tidak tega membentak adiknya seperti ini. Tapi apa daya, amarah lebih menguasainya.
"Mas gak mau tau, Kamu berhenti sendiri dari kerjaan ini atau Mas yang akan ngajuin pemecatanmu!" kecam Nakula berapi-api. Ia mengepal tangannya kuat-kuat dan mengatakan, "Mas kecewa sama Kamu, Gem." lalu pergi dari sana.
Gemi tak dapat berkata-kata, lututnya lemas sampai membuatnya roboh terduduk. Ia terisak kencang, bahunya terguncang keras naik turun. Kardus yang seharusnya diantar ke atasan malah dijadikan tempat pelampiasan tangis. Kardus itu basah, dihujani air mata bak air bah lautan. Dadanya amat sesak rasanya, seperti dihimpit oleh benda melebihi besar badannya.
Tangis Gemi makin kencang begitu ingat perjuangan Nakula membiayai pendidikannya selama ini.
Orang tua mereka berpenghasilan pas-pasan, sawah orang mereka garap dengan sistem bagi hasil untuk memencukupi kebutuhan. Ketiga saudara lainnya telah berumah tangga dan merantau mencari kehidupan di kampung orang. Kehidupannya pun tak jauh berbeda dari keluarga di kampung halaman. Hanya si anak tengah yang kebetulan lumayan hidupnya setelah diangkat PNS.
Tersisa Nakula di rumah yang menjadi penopang selain Suryo. Ia hanya tamatan SMK dan berkat relasi Suryo, ia bisa diterima di bagian logistik anak cabang perusahaan yang digeluti Gemi. Ia bekerja keras membantu beban Suryo menyekolahkan Gemi setinggi mungkin.
Ibarat susu dibalas air comberan, perjuangan Nakula selama ini dibalas Gemi sedemikian. Wajarkan, bila Nakula kecewa? Silahkan, komentar di bawah.
Salam damai, dari penulis amatiran yang kurang belaian. Oops, pengalaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
Fiksi UmumBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...